Pertentangan

6K 534 6
                                    

Medina menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya melalui jendela mobil. Sama sekali tak peduli meski Kemal mencibir karena dia tak tahan dengan dinginnya AC. Mau bagaimana lagi, kepalanya tak pernah bisa diajak kompromi. Selalu pusing tiap kali berada dalam kendaraan berpendingin. Anehnya, dia baik-baik saja dengan AC dalam ruangan.

Pagi itu, dia tiba-tiba saja merasa begitu rindu pada ibunya. Karena itu, sedikit memaksa kalau tak bisa dikatakan merayu, Medina meminta Kemal mengantarnya pulang.
Butuh waktu hampir satu jam perjalanan dari Banyuwangi Kota menuju salah satu kecamatannya di daerah selatan. Desa Kedungrejo di Kecamatan Muncar, bandar ikan terbesar kedua setelah Bagansiapiapi. Dari hasil laut itulah Medina tumbuh dan dibesarkan.

Masih tiga kilometer lagi jarak yang harus ditempuh, tapi senyum semringah sudah terukir di bibir perempuan itu. Seolah telah lama tak menginjakkan kaki di kampung halaman, padahal baru satu bulan dia menikah. Bahkan saat rutin pulang tiga bulan sekali ketika masih nge-kost dulu, senyumnya tak selebar ini.

"Boleh aku ajak Emak ke rumah baru kamu?" Kini tatapan Medina sudah tak lagi terlempar ke luar jendela. Dia beralih menatap wajah suaminya yang hanya terlihat dari samping.

"Pertanyaan macam apa itu?" Kemal menjawab tanpa mau repot-repot mengalihkan fokus dari jalanan di depan.

Medina mengedikkan bahu. "Aku ngerasa perlu tanya dulu. Bagaimanapun, bagi orang miskin menjadi suatu kehormatan saat dikunjungi oleh orang kaya, tapi bagi orang kaya mendapat tamu si miskin cuma bikin repot aja."

Sudah tiga hari mereka pindah rumah. Namun, tak ada satu pun keluarga Medina yang datang karena memang belum diberitahu. Perempuan itu bahkan seperti tak punya hak untuk ikut merayakan euforia atas rumah baru itu, apalagi mengklaim turut memiliki. Entahlah, bagi Medina tak ada kata 'kita' antara dirinya dan Kemal.

Mendengar jawaban sang istri, Kemal hanya mengerling sekilas lalu kembali menatap ke depan. "Itu teori ngawur versi kamu."

Medina tersenyum, tampak seperti sedang mengejek dari bentuk lengkung bibirnya yang hanya tertarik di satu sisi. Setelahnya, mereka tak lagi bicara hingga mobil Kemal berhenti tak jauh dari gapura jalan menuju rumah Medina.

"Kamu jalan aja, ya. Nggak jauh, 'kan, cuma berapa meter dari sini. Kalau berhenti dekat rumah kamu, susah muternya." Santai betul Kemal saat bicara seperti itu, tanpa sadar kalau ekspresi wajah Medina seketika berubah tak senang.

"Kamu nggak ikut?" tanya perempuan itu dengan nada tak percaya.

"Aku harus kerja. Turunlah cepat. Nanti kujemput kalau mau pulang."

"Turun sebentar nggak akan buat usahamu gulung tikar! Kamu bahkan nggak pernah menginjakkan kaki lagi di rumah Emak sejak acara lamaran. Menantu macam apa itu?"

Kemal menghela napas panjang. "Aku nggak mau berdebat, Din. Turun. Cepat." Dua kalimat terakhirnya diucapkan penuh penekanan.

Medina menatap tajam Kemal, terlihat jelas kekesalan di wajahnya. "Sombong!" umpatnya lalu keluar dari mobil dengan perasaan geram.

Tak lagi menoleh, perempuan itu berjalan cepat menuju gapura. Terus melangkah melewati deretan rumah para tetangga, hingga sampai di depan rumahnya. Tempat di mana dia dibesarkan penuh kasih sayang, tapi sepertinya tak sudi dihampiri oleh sang suami.

Tak lantas segera masuk, Medina berulang kali mengatur napas. Seolah sedang berusaha keras meluruhkan segenap emosi buruk yang menyelimuti hatinya. Berjanji dalam hati akan membalas perlakuan Kemal nanti. Baru kemudian melangkah masuk.

Tak ada yang berubah dari tatanan rumahnya. Ruang tamu dan ruang tengah masih tetap tersekat oleh sofa kuno yang kulit kursinya sudah kusam. Di atas meja terletak sebuah cangkir berisi ampas kopi, bekas minum kakak sulungnya, pasti. Bingkai-bingkai pintu masih berwarna samacoklat tuaseperti sejak sebelum dia menikah. Begitu juga tirai kekuningan yang tergantung di depan pintu menuju dapur. Dia menyibak tirai itu, mengucap salam.

"Oalah, Nduk. Kok, ndak bilang-bilang mau ke sini?" sambut sang ibu, setelah menjawab salam. Terlihat jelas raut semringah di wajah Jumiwa akan kedatangan Medina.

"Masa pulang ke rumah sendiri harus bilang-bilang dulu, Mak?" Medina meraih tangan ibunya, mencium punggung tangan yang mulai berkeriput itu agak lama. Jawabannya barusan terkesan menyatakan bahwa rumah itu tetaplah tempatnya.

Jumiwa mengulum senyum sembari menggeleng. "Bukan. Rumahmu sudah bukan di sini, tapi bersama suami. Mana suamimu?"

Senyuman kecut terukir di bibir Medina saat menjawab, "Dia ndak bisa mampir, ada kerjaan katanya."

Sekilas tampak kilat kecewa di sorot mata Jumiwa, tapi segera dia alihkan. "Sudah makan, Nduk? Emak masak cah kangkung dan pepes teri. Ada untungnya juga suamimu ndak mampir. Emak malu kalau cuma menyuguhkan makanan seperti itu. Dia pasti biasa makan enak."

Medina tak menyahut, memilih melangkah menuju rak, mengambil sebuah piring dari sana. Setelahnya duduk di kursi makan lalu mengisi piring dengan nasi dan lauk yang terhidang di meja.

Siang itu, Medina menghabiskan waktu mendengar cerita sang ibu tentang jenis ikan yang sedang banyak dijual di pasar ikan. Begitu pun tentang kisah saudara-saudara, juga tetangga. Hal yang dulu jarang sekali Medina lakukan, karena merasa semua itu terdengar membosankan. Entah kenapa kali ini dia tampak begitu antusias menyimak. Seolah tak ingin melewatkan satu kata pun yang terucap dari mulut ibunya, hingga perlahan mata itu mulai berkaca-kaca.

'Mak, katanya kekayaan bisa membawa kebahagiaan, tapi kenapa aku malah merasa nelangsa?'

***

Angin bertiup silir-silir membawa bau amis menusuk masuk ke penciuman. Sudah pasti aroma itu berasal dari pasar ikan yang tak jauh dari rumah Medina. Tempat di mana hasil laut diperjualbelikan. Bau anyir yang tak lagi sepenuhnya mengganggu pernapasan bagi yang sudah terbiasa.

Langit sudah menggelap saat sayup terdengar suara anak-anak mengaji di surau. Kegiatan rutin bocah-bocah di desa itu setelah magrib. Sepintas mengingatkan Medina akan masa lalu, masa kecilnya.

Perempuan itu sedang duduk di teras, dengan ponsel tergenggam di tangan. Benda itu tak henti bergetar. Nama Kemal tertera di layarnya, sengaja dia abaikan. Saat panggilan berakhir, Medina cepat membuka aplikasi whatsapp, mengetik pesan untuk suaminya.

'Aku masih kangen Emak.'

Segera pesan itu dikirimkan. Tak lama balasan masuk.

'Terus?'

'Aku mau nginap.'

'Oke, besok pagi aku jemput.'

'Jangan besok, tapi lusa.'

Setelah mengirim balasan pesan itu, Medina mengeratkan genggaman pada ponselnya. Mulai merasa cemas dengan jawaban yang akan diberikan oleh Kemal.

'Kamu mulai ngelunjak, ya!'

Medina menghela napas panjang. Jemarinya bergetar saat kembali bergerak di atas layar.

'Terus kenapa? Kamu mau nyeret aku pulang?'

Seusai mengetik, untuk beberapa saat dia hanya bergeming, tak menyentuh tanda panah di sisi layar. Mungkin mulai ragu untuk mengibarkan bendera perang. Namun, pada akhirnya ibu jarinya bergerak juga. Pesan terkirim. Satu menit berlalu, tanda centang dua berganti warna biru. Jantung Medina mulai berdetak cepat. Entah bagaimana reaksi Kemal atas isi pesan itu.

***

KEMED : Marriage in MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang