10

13 1 0
                                    

     Tiga bulan sudah waktu berlalu sejak kejadian itu.

"Bismillahirrohmanirrohim, melihat kesungguhan Kak Riyan, yang berani mendatangi kedua orang tua Zahwa. Zahwa...." sengaja lama aku menjawab, membuat suasana menjadi tegang.

     Terlihat jelas, Riyan tak sabar menantikan jawaban dariku.

"Zahwa mau menerima lamaran Kakak, tapi..." dan lagi-lagi sengaja aku menggantung jawabanku.
"Tapi apa, Zahwa ?"
"Tapi zahwa nggak mau berlama-lama"
"Maksud, Zahwa ?" tanya Riyan tak mengerti.
"Zahwa nggak mau berlama-lama berbuat dosa, kalau Kakak benar-benar siap, Zahwa ingin setelah lamaran ini, kita melangsungkan Aqdun nikah" jawabku.

     Mendengar jawabanku, kontan membuatnya terkejut. Aku menangkap mimik muka tersebut.

"Kalau Kakak tidak siap, silahkan kembalilah kalau memang benar-benar sudah sanggup" lanjutku.
"Nggak, Zahwa. Insyaallah, Kakak sanggup" jawabnya yakin.

     Usai itu, mereka membicarakan tanggal pernikahan. Telah di ambil sebuah keputusan, pernikahan akan diselenggarakan tiga bulan setelahnya.

     Bayangan saat Kak Riyan dan kedua orang tuanya datang menemui kedua orang tuaku kembali terbayang-bayang. Betapa bahagianya saat itu.

     Tapi teringat pula kejadiaan tiga bulan yang lalu dimana saat orang yang aku cintai berjuang melawan maut.

     Hingga kini, aku pun masih enggan menampakkan diri pada dunia, dunia yang kejam, yang merenggut jiwa Kak Riyan menjelang hari bahagia itu.

"Nggak mungkin, Kak Riyan nggak mungkin pergi meninggalkan aku" teriakku histeris.
"Istighfar, Zahwa. Istighfar" Ibuku berusaha menenangkan.

     Tiba-tiba semuanya terasa berat dan gelap, aku pun tak sadarkan diri.

"Zahwa, tuh ada teman-teman kamu datang menjenguk" kata ibuku.

     Aku hanya terdiam. Satu persatu dari mereka mulai masuk ke kamar.
Melihat kondisiku seperti ini, mereka pun turut prihatin. Kulihat beberapa menitihkan air mata.

"Zahwa yang sabar ya" kata mereka.
"Zahwa, kamu nggak boleh gini terus. Kamu harus meneruskan kembali hidupmu. Kamu inget kan apa yang di katakan Kak Riyan sebelum ia pergi" kata Ama mengingatkanku.

"Zahwa, kamu harus tetap melanjutkan hidup kamu, walau tanpa Kakak. Kamu harus jadi Zahwa yang kuat, Zahwa yang ceria seperti dulu. Kakak nggak sepenuhnya pergi. Kakak akan selalu bersamamu, di hatimu" pesan Riyan saat perjalanan menuju rumah sakit.
"Nggak, Kakak harus bertahan. Kakak ingatkan, dua minggu lagi kita akan menikah. Kakak harus sembuh" kataku menyemangati.
"Kakak juga ingin demikian, Zahwa. Tapi entah bagaimana takdir Allah"
"Allah menakdirkan Kakak itu untuk Zahwa. Kakak pasti sembuh".
"Tapi, Zahwa...."
"Sssttt, sudah, Ka, jangan terlalu banyak di buat bicara ya. Zahwa yakin Kakak pasti sembuh".

     Ya, Ama tau semuanya karena dia terus menemaniku di rumah sakit saat Kak Riyan berjuang melawan maut.

"Ingat kan, Zahwa. Kak Riyan pasti akan sangat sedih melihatmu seperti ini. Dia juga pasti ingin kamu melanjutkan kembali hidupmu. Dan kamu tau, Zahwa. Aku kesepian tanpa kamu di kontrakan. Aku janji nggak akan tinggalin kamu sendirian lagi" kata Ama berlinangan air mata seraya memelukku. Ku balas dengan erat pelukan sahabatku itu.

'Aku rela menukar kebahagiaanku, demi seulas senyum untuk mu, Zahwa' batin Ama

Seulas Senyum Untuk ZahwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang