(Dua belas) F

9.8K 719 33
                                    

Fajar mendorong bahu Raya menjauh, apa yang terjadi barusan sangat disesalinya. Mata bulat gadis itu terlihat sendu dan kecewa. Rambut basah yang berantakan milik Raya menutup sebelah matanya.

"Jangan menggodaku! aku ini adalah laki-laki, " ketus Fajar, mata itu kembali menatap Raya dingin seperti semula.

Ucapan itu membuat Raya tersinggung dan terhina, apakah dia yang menggoda laki-laki itu? dia hanya menengadahkan wajah dan Fajar yang lebih dulu memulainya.

Raya mengumpulkan rambutnya, menyampirkan di sisi kanan bahu, air mata bercampur dengan hujan menetes di pipinya. Sungguh ... sangat menyedihkan rasanya saat tertolak. Jika waktu bisa diputar, dia juga tak ingin itu terjadi.

"Aku akan mengantarmu kembali ke rumahmu, aku tak bisa terus-terusan menjagamu," ucap Fajar datar.

Raya diam mengatupkan bibirnya, matanya lebih memilih melihat air banjir yang menggenang di bawah sana dibanding melihat wajah Fajar.

"Aku tidak mau," jawabnya.

"Mengertilah! pernikahan kita tidak benar-benar terjadi, tidak baik untuk kita untuk terus tinggal seatap. "

"Kenapa? Kau takut akan tergoda padaku?" Mata Raya akhirnya menatap nyalang.

"Laki-laki mana yang akan menolakmu, dalam artian yang berbeda, tapi aku tak ingin semua itu terjadi, kembalilah pada kenyataan, kau sedang hamil ... sedang hamil, Raya!" Fajar tertawa miris.

"Dan anak itu ... bukanlah anakku."

Raya merasa hatinya sakit, kalimat terakhir itu kembali menghempaskannya ke dasar jurang yang membuat dia merasa lunglai.

"Kenapa kau selamatkan aku, ha? Seharusnya tadi aku lebih memilih mati. Anak ini, aku membencinya sebesar benciku pada Marsel, aku benci!" Raya mengamuk disela tangisnya, kembali memukuli perutnya.

Awalnya Fajar membiarkan, tapi ketika tidak ada tanda-tanda Raya akan berhenti, Fajar menarik bahu itu dengan kasar, bahu Raya bergetar hebat, dia terlihat sangat menyedihkan.

"Hentikan itu! kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri."

"Aku tidak peduli, tak ada satupun yang peduli, ayahku yang tak pernah menyayangiku karena aku adalah anak angkat, Marsel yang memperkosaku dan meninggalkan janin ini diperutku, dan kau...." Raya berhenti sejenak.

"Kau sama saja, jangan baik lagi kepadaku!"

Fajar terkejut, anak angkat? fakta ini baru diketahuinya. Dia tidak pernah mendengar dari siapapun fakta itu.

Hujan semakin turun, sayup-sayup suara adzan terdengar jauh. Raya menangis sesenggukan meratapi dirinya sendiri. Hidupnya tidak lagi memiliki tujuan. Cita-citanya setinggi langit, namun semua hancur dalam semalam.

Raya memeluk lututnya, dia tak lagi menghiraukan rasa dingin yang menyiksanya. Dia baru sadar, bahagia hanya mampir sebentar saja dan dia kembali menatap kenyataan, kenyataan yang belum bisa diterimanya sampai saat ini.

"Setelah bencana ini selesai, aku akan mengantarmu."

"Jangan mengaturku! kau bukan siapa -siapa bagiku." Raya membentak seiringan dengan suara petir yang menggelegar. Fajar mengamati wajah menyedihkan itu.

"Jangan ikut campur dengan apapun yang ku lakukan! jangan lagi menyelamatkanku jika aku ingin mati, tak usah menampakkan rasa pedulimu padaku jika akhirnya kau berniat mengembalikan aku ke rumah itu!" jerit Raya.

Fajar tidak ingin melayani amukannya. Kenapa Raya begitu rumit, yang di inginkannya sederhana, mereka kembali kekehidupan mereka masing-masing, itu saja.

"Tak ada satupun yang bisa ku percayai di dunia ini, " lanjutnya. Bibir yang biasa merah muda itu terlihat pucat pasi kedinginan.

Raya bangkit memaksa lututnya yang bergetar untuk berdiri di atas atap sambil berjalan berlahan, Fajar waspada, dia tidak boleh lengah sedikitpun saat ini.

Dugaannya benar, Raya mulai mendekati tepi atap, menjulurkan satu kakinya ke bawah. Tindakannya itu amat sangat berbahaya. Banjir setinggi dua meter siap membuatnya kehabisan nafas.

Fajar bergerak cepat meraih lengan Raya dengan paksa, membanting wanita keras kepala itu menjadi berbaring lalu memeluknya sangat erat. Dia juga putus asa, putus asa dengan nasibnya sendiri. Dia kehabisan energi untuk bertengkar, setelah berjuang menyelamatkan diri dan juga Raya.

Raya melepaskan tangisnya, tubuhnya lunglai, Fajar mengungkungnya saat ini, hujan deras memukul punggungnya mengalir ke seluruh wajahnya kemudian turun kewajah Raya.

"Hentikan semua kegilaanmu! aku lelah bertengkar saat ini, setidaknya kau juga berfikir tentang diriku, kau bukan orang satu-satunya yang menderita saat ini, Raya!" tegas Fajar.

Raya tak menyahut, dia merasakan tubuhnya mati rasa. Pandangannya melemah, diiringi dengan nafas berubah sesak, dia antara hidup dan mati. Raya merasakan kesadarannya mulai menipis.

Fajar curiga dengan diamnya Raya, apa lagi tubuhnya sedingin mayat. Fajar mengangkat wajahnya dan terkejut melihat pandangan wanita itu mulai tidak fokus.

"Raya?" Fajar menepuk-nepuk pipi Raya, agar wanita itu membuka matanya, namun Raya tidak juga bergerak. Fajar panik, dia terus menepuk-nepuk pipi Raya.

"Ya tuhan, Raya. Kau harus sadar! jangan tidur, Raya! aku mohon jangan tidur! jika kau tak ingin aku mengembalikan dirimu kepada orang tuamu, maka aku akan melakukannya." Fajar menepuk -nepuk pipi itu kembali. Dia tau, gadis itu terkena hypotermia karena kedinginan. Tidak sadarkan diri hanya akan mendekatkannya pada kematian. Fajar menjadi takut dengan keadaan ini, tidak ada satupun yang akan menolong karena semua orang sedang berjuang dengan hidupnya sendiri. Tapi dia harus mencoba.

"Toloooooong," teriak Fajar yang hanya dijawab oleh guntur yang bersahutan, tak ada yang akan mendengarkan teriakannya, suaranya kalah keras dengan suara hujan yang turun semakin lebat.

Fajar kembali duduk mendekati Raya, dia sangat putus asa saat ini.

"Please Raya! please!" suara Fajar berubah serak, berulangkali dia mengecup pipi dingin itu namun tetap tidak ada respon. Dia lebih memilih bertengkar dengan wanita itu dari pada dihadapkan dengan situasi ini.

Wanita itu harus diselamatkan dengan segera. Suhu tubuhnya harus naik dalam hitungan cepat.

"Ya tuhan, Raya."

Fajar menggendong wanita itu, masuk lagi kedalam celah atap, menjulurkan kakinya hati-hati, kemudian Fajar membaringkan Raya di atas plafon kayu, mencari tempat yang cukup hangat dan kering. Tak ada kain lusuh di sini, selimut mereka telah hanyut dibawa banjir.

Ini harus dilakukan, tak ada pilihan lain bagi Fajar, keraguan hanya akan mempercepat kematian wanita itu.

Dengan gesit, Fajar melepaskan seluruh kain basah di tubuh mereka lalu Memeluk Raya sangat erat. Trik ini pernah dipelajarinya dulu, proses pemindahan suhu tubuh akan cepat menyelamatkan nyawa gadis itu.

"Maafkan aku! Tapi kita harus melakukan ini."

***
Tamat di karya karsa

I Hate You ! But I Love You ( 21 + )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang