(Tiga Belas) F

8.2K 664 23
                                    

Hujan semakin lebat dan yang membuat sungai semakin meluap dan membawa batu- batu besar yang menghantam apa saja yang menghalanginya. Bunyi petir melengkapi suasana pagi yang mencekam.

Fajar memejamkan matanya lelah. Membenamkan kepalanya di sisi bahu Raya. Tubuh sedingin mayat itu mulai berangsur hangat setelah proses perpindahan suhu yang dilakukan Fajar.

Tak sedikitpun Fajar membiarkan fikirannya berbelok terhadap kesempurnaan ragawi yang indah milik Raya. Dia takkan mengambil kesempatan apa pun dalam hal ini. Dia memang murni menolong, tak ada yang akan membantah kecantikan wanita itu. Termasuk dirinya. Tapi dia adalah laki-laki terhormat yang takkan melakukan sentuhan berlebihan terhadap wanita yang bukan benar-benar istrinya.

Fajar merasa matanya memberat, tubuh lelah itu butuh ustirahat setelah berjuang mempertahankan lebih dari satu nyawa yang ada saat ini. Fajar memasrahkan dirinya, tertidur pulas sambil mengungkung Raya.

Tanpa sepengetahuan Fajar, wanita yang seolah tertidur itu membuka matanya berlahan, menatap nanar atap yang sudah lapuk dan berkarat. Dia tau, semua ini bukanlah adegan mesum sepasang manusia. Tapi murni pertolongan menyelamatkannya.

Tapi Raya tak bisa mengendalikan jantungnya yang berdebar kuat. Kedekatan ini, sangat berpengaruh besar pada dirinya. Dia merasakan sesuatu yang tidak pernah dirasakannya, sebuah rasa ingin...menyentuh.

Raya memjamkan matanya meresapi setiap kehangatan yang mungkin terakhir kali dan takkan didapatkannya lagi. Raya tidak mengerti dengan dirinya, apa dia yang terlalu rapuh hatinya sehingga dengan cepat mengubah rasa benci menjadi rasa nyaman dan ingin memiliki Fajar untuk dirinya. Dia baru tau, pesona pria itu dan kebaikannya dalam menyelamatkan Raya mampu meluluh lantakkan jiwa kosongnya menjadi hidup kembali.

Raya memejamkan matanya, dia takkan melupakan momen ini, disaat seperti inilah dia merasa memiliki Fajar untuk dirinya. Dia menahan kedua lengannya yang ingin bergerak, jika saja dia tak mampu mempertahankan posisi, tentu dia akan ketahuan kalau dia sudah bangun dari tadi dan pura-pura tidur.

Raya mengutuk dirinya, saat kehangatan itu berubah menjadi... panas, dalam artian yang berbeda. Raya mengambil nafas mengisi oksigen keparu-parunya saat nafasnya mulai memberat.

*****

Fajar terbangun lebih dulu saat matahari mengintip masuk dari atap yang terbuka. Dia dengan cepat meraih pakaiannya dan memasang segesit mungkin. Dia memalingkan wajah dari Raya, wajah yang merah dan malu.

"Bangun, Raya! Kita harus memanjat atap." Suaranya sengaja dikeraskan untuk membangunkan wanita itu.

Raya terkesiap menyadari keadaan dirinya.

"Berbaliklah!" Perintah Raya.

Fajar mendengus malas, dia tidak berbalik tapi langsung mengangkat badannya memanjat kesela atap yang sudah terbuka.

Raya meraih baju basah itu dan memasangnya terburu-buru. Dia tertawa miris, bahkan dia mengingat dengan jelas kenekatannya saat Fajar tertidur tadi. Membayangkan itu dia menjadi malu sendiri. Dia bertingkah layaknya wanita murahan.

Mereka duduk berjauhan diatas atap, melihat secara langsung kengerian bencana alam yang memporak-porandakan desa. Air keruh menggenang, beberapa rumah tampak menghilang diseret arus. Untung saja posisi rumah mereka terletak terpencil dan agak tinggi dibanding rumah lainnya yang berdekatan betul dengan jalan, jalan hanya berjarak enam meter dari aliran sungai.

"Kita harus menunggu tim evekuasi datang," kata Fajar.

Mereka melihat belum ada tanda -tanda bantuan tim penyelamat. Mungkin area daerah yang tergolong daerah terpelosok dan sulitnya akses untuk menghadang banjir.

Raya tidak menjawab. Jiwanya masih berada di kejadian beberapa menit lalu. Yang membuatnya sedikit kecewa, Fajar bertingkah biasa saja. Berbeda dengannya, dia tidak tertarik membahas masalah penyelamatan sekarang.

"Apa yang terjadi padaku semalam?" pancing Raya. Fajar menatapnya datar dan sekilas.

"Kau terserang hypotermia."

"Seharusnya kau biarkan aku mengakhiri hidupku semalam," jawab Raya.

"Berhentilah bersikap bodoh, Raya! sekarang bukan saat yang tepat membahas kematianmu, karena aku memikirkan bagaimana supaya kita selamat."

Raya mengambil nafas lelah.

"Kau tau dimana keberadaan Marsel ?
Fajar berfikir sejenak.

"Di suatu tempat, apa kau berfikir akan mengemis tanggung jawab padanya? Kalau itu yang kau fikirkan. Lebih baik segera urungkan niatmu, karena dia tidak akan melakukannya," tegas Fajar.

"Sejauh apa kau mengenal Marsel, bukankah kalian berteman?" pancing Raya.

"Aku tidak pernah merasa berteman dengannya, kami hanya terlibat dengan alasan pekerjaan."

"Maksudmu, termasuk menjebakku malam itu? "

"Sudahlah, Raya, Waktu itu aku sedang butuh uang. Jika kau jadi aku, pasti kau akan lakukan apa saja asal perutmu berisi."

"Sekarang gimana?" Tanya Raya lemah.

"Gimana apanya?"

"Hidupku...."

"Aku juga tidak tau," jawab Fajar.

"Carikan aku solusi! Kau tak berniat menjadi suamiku bahkan sampai anak ini lahir, sementara perutku akan semakin membesar," teriak Raya.

"Solusinya kau harus pulang," jawab Fajar.

"Janjimu tidak bisa dipegang, semalam kau mengatakan tidak akan memulangkanku," celutuk Raya.

Fajar terkejut, apa Raya mendengar janjinya itu? Atau malah tau dia sempat mencuri saat Raya tertidur. Dia akan sangat malu sekali jika Raya tau.

"Kapan aku mengatakannya?" Delik Fajar.

"Tadi malam, bahkan...."

"Aku tak melakukannya, itu perasaanmu saja." Fajar langsung memotong ucapan Raya saat dia mengira Raya akan membahas ciuman itu.

"Jadi kau akan melanggar janjimu?"

"Sudahlah! jangan bicara apa-apa lagi," sanggah Fajar.

Raya sempat melihat wajah Fajar yang merah dan salah tingkah.

***
Di karya karsa tamat

I Hate You ! But I Love You ( 21 + )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang