Tujuh

9.6K 675 17
                                    

Fajar mendengar penjabaran pak Sultan, seorang kepala adat yang sangat dihormati dan disegani di desa ini. Orangnya sangat bijak dan arif, dialah orang yang pertama kali dijumpai oleh Fajar untuk melaporkan jika dia mulai menjadi warga di desa ini.

Tujuan Fajar menemui pak Sultan, adalah sebagai tempat bertukar cerita berkaitan dengan kelanjutan hidupnya kedepan. Di sini ijazahnya tidak laku, semua warga secara umum berladang kopi dan berkebun, mereka hidup sederhana tanpa kemajuan yang berarti.

Adat istiadat masih dipegang teguh di sini. Segala permasalahan akan dirembukkan oleh beberapa tokoh masayarakat dan diputuskan oleh kepala adat yaitu pak Sultan sendiri.

"Anak muda, kau terlalu tampan untuk menjadi warga di sini, apa kau yakin akan menjadi pekerja kasar sementara kau punya peluang menjadi lebih baik diluar sana?"

Fajar mengangguk sejenak. "Saya sudah yakin pak, bekerja apapun asalkan mendapatkan uang."
Dia butuh makan dan beras tidak dibeli dengan daun.

"Sebenarnya ada pekerjaan yang lebih cepat mendapatkan uang, namun saya yakin nak Fajar tidak akan mampu melakukannya."

"Apa itu pak? Saya tidak keberatan asal menjanjikan." Fajar bersemangat.

"Desa kita ini berada di sepanjang aliran sungai besar, sumber daya alam cukup banyak, batu alam, pasir dan tanaman rempah, dari kota banyak para pemilik toko bahan bangunan yang mencari pasir disini untuk dijual. Penambang di sini masih sedikit karena jumlah warga laki-laki dewasa tidak seberapa, anak muda-muda lebih memilih untuk merantau."

"Saya mau pak, jika menambang pasir lebih cepat mendapatkan uang."
Fajar begitu bersemangat. Pak Sultan mengangguk maklum, sambil berfikir apa yang membuat pemuda kota ini lebih memilih menetap di sini dan hidup susah padahal orang di sini lebih banyak merantau ke kota.

*****
Fajar membuka pintu rumah. Dia amat lelah, setelah perbincangan dengan pak Sultan dia langsung ke lokasi penambangan dan berkenalan dengan beberapa orang penambang lainnya, yang rata-rata adalah pria yang sudah berumur dan penduduk asli setempat.

Hari ini dia mendapatkan seratus ribu setelah mengumpulkan pasir setengah truk. Fajar mengelus telapak tangannya yang lecet, beberapa buku -buku jarinya terluka karena memaksakan tenaga di awal bekerja.

Fajar mengusap keringat yang membasahi wajahnya, membuka jendela lebar-lebar. Dia membiarkan angin sore masuk membelai wajahnya. Dari awal dia memahami bahwa hidup sangat keras, tidak bekerja ya tidak makan.

Pintu kamar Raya berderit berisik, Fajar mendecih melihat wajah kusut Raya yang baru bangkit dari tidurnya. Apakah tidak ada lagi pekerjaan yang dilakukannya selain tidur dan malas malasan. Setidaknya Raya membantu memasak air untuk minum.

"Dari mana saja?" Tanyanya dingin

"Apa pedulimu?" ketus Fajar. Raya memutar matanya, duduk disofa lusuh disebelah Fajar, laki-laki itu memang dingin dan tak pernah tersenyum.

"Aku istrimu." Raya menghela nafas, sengaja memancing emosi Fajar.

"Aku tidak pernah menganggapmu istriku."

"Terserah padamu!" Raya menyandarkan kepalanya dan ikut menikmati angin sore yang sejuk.

"Aku mulai bekerja, kita bisa mati kelaparan disini." Fajar berkata tenang, matanya memandang matahari yang mulai meredup dan akan tenggelam.

"Pekerjaan apa?"

"Menambang pasir, tapi sebelumnya kita harus buat kesepakatan."

Raya menautkan alisnya. " Kesepakatan seperti apa?"

"Kita jalani peran seperti pasangan istri sebenarnya," jawab Fajar. Raya langsung menjauh dan menyilangkan tangannya di depan dada.

Fajar mengejeknya. "Kau pikir aku tertarik denganmu? aku menyukai barang original."

Wajah Raya berubah merah antara tersinggung, sedih dan malu.

"Maksudku bukan begitu, mulai sekarang aku akan bertugas mencari nafkah seratus persen, dan kau kerjakan apa yang biasa dilakukan seorang istri, memasak, mencuci, membersihkan rumah dan mengangkat air untuk diminum."

"Kenapa tugasku banyak sekali? Tugasmu hanya satu."

Fajar berubah kesal. "Atau, aku kerjakan semuanya, dan kau yang mencari uang."

Raya mendelik dengan saran Fajar, " Aku tidak mungkin menambang pasir. "

"Lalu apa pilihanmu? aku bukan ayahmu, bukan pembantumu, jika kau tak mau itu terserahmu, aku tidak akan membagi uangku secara gratis."

"Aku tidak bisa memasak," jawab Raya.

"Kau kan bisa belajar, di sini tidak ada pembantu yang akan melayanimu."

"Mencuci kesungai terlalu jauh," katanya lagi.

"Kalau begitu angkat air sendiri supaya kau bisa mencuci di rumah."

"Tidak mungkin aku melakukannya."
Cicit Raya.

Fajar berubah kesal, dia menarik tangan Raya mendekat, menusuk mata bening Raya dengan tatapan peringatan.

"Lalu apa yang bisa kau lakukan, ha? selain berzina dan hamil?"

Plak! sekali lagi tamparan melayang di wajah Fajar, Raya menatapnya nyalang, air mata kembali mengalir deras, Raya menangis tanpa suara.

"Cukup semua penghinaanmu! kau tak punya hati, laki-laki egois, kenapa kau sebenci ini padaku?"

"Tanyakan pada ayahmu! apa yang dilakukannya dimasa lalu padaku." Suara Fajar semakin naik dan meninggi.

"Aku tidak paham dengan apa yang kau katakan."

"Belum saatnya kau mengetahuinya, jangan berharap aku menyukaimu, secepatnya kita akan berpisah, se-ce -pat-nya." Fajar mengeja setiap suku kata didepan wajah Raya yang menegang.

"Itu urusanmu." Raya menjawab.

Fajar mengelus dadanya menahan marah.

"Aku lelah, lapar, dan tak memiliki energi untuk bertengkar saat ini, bahkan kau tidak memasak sedikit air untuk diminum, kau bisa menilai sendiri apa kau memang berguna atau tidak."

Fajar memakai kembali bajunya, berniat keluar rumah mencari sesuatu yang bisa dimakan. Setelah tikungan yang tidak jauh dari rumahnya, ada sebuah kedai kecil yang menjual kebutuhan pokok, dia akan memasak sendiri dan takkan mengharapkan gadis manja itu melakukannya.

"Kau mau kemana?"

"Beli beras."

"Aku ikut." Raya tidak menunggu persetujuan Fajar, dia berjalan mengikuti Fajar, dia bosan seharian di rumah, setidaknya dia bisa mengirup udara segar.

"Hei tunggu aku! " teriak Raya saat melihat Fajar berjalan semakin cepat.

"Kau berjalan seperti siput."

Raya tidak menghiraukan ejekan Fajar, dia menikmati kebun kopi yang berada di kiri dan kanan jalan. Melirik Fajar sekilas, rambutnya berantakan ditiup angin. Wanita mana yang akan menyukai laki-laki sedingin itu yang tak terlihat tertarik pada perempuan.

I Hate You ! But I Love You ( 21 + )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang