(Sepuluh) F

8.9K 726 25
                                    

Fajar membuka matanya berlahan saat dia merasakan sensasi dingin menyentuh kakinya yang terjuntai kelantai, sofa itu begitu kecil untuknya, ditambah lagi harus berbagi dengan Raya.

Fajar bangkit hati-hati supaya Raya tidak terbangun, matanya terbelalak melihat air setinggi setengah meter sudah menggenang di lantai rumah. Ternyata hujan yang tidak berhenti dari magrib itu membawa dampak banjir secepat ini.

Fajar melirik jam tangannya, pukul empat pagi, dia menyentuh bahu Raya yang tertidur nyenyak menghadap kesandaran sofa.

"Raya."

"Engghh."

"Raya, bangun!"

"Engghh," jawabnya. Fajar tak punya pilihan selain mengangkat tubuh dengan mata terpejam milik Raya.

"Banjir, Raya! kita harus pergi menyelamatkan diri, airnya semakin naik." Fajar bersuara agak keras. Raya masih berusaha mengumpulkan nyawanya.

"Bajuku kenapa basah?" Raya mengusap punggungnya.

"Ya elah, banjir! banjir! gimana sih? Kamu biar sadar atau gak sadar sama sama menyebalkan, ayo cepat kita tak punya waktu!"

Fajar menarik tangan Raya, air semakin deras masuk ke dalam rumah dan membuat sofa tenggelam.

"Ya tuhan, ini banjir. " Raya berteriak.

"Dari tadi sudah dibilang banjir."

Belum selesai Fajar bicara, bunyi hantaman keras memukul dinding rumah, seperti batu besar yang terbawa air, disusul air bah yang berlomba masuk tak terkendali menuju ruang tamu. Raya terpekik saat air itu memenuhi rumah dan mencapai leher mereka. Nafas Raya menjadi sesak.

"Pegang tanganku!" Teriak Fajar, Raya mengangguk , dia benar-benar panik.

"Kita harus memanjat Raya!" perintah Fajar. Raya menggeleng,

"Aku tidak bisa." Tangis Raya pecah.

"Sudah tidak ada waktu, Raya! Air semakin naik," perintah Fajar lagi.

"Kita ke dapur, ada tangga di sana."

Raya tak lagi fokus dengan perintah Fajar, saat air mulai mencapai mulutnya. Fajar melihat itu semua, ketika Raya hampir tenggelam dan kelabakan mengambil nafas, dangan sigap dia menggendong Raya supaya posisi tubuhnya lebih tinggi.

"Itu tangganya! kau harus memanjat lebih dulu!" perintah Fajar. Raya memandang Ragu.

"Tak ada waktu lagi, Raya."

Raya memijakkan kakinya ketangga menuju atap, tangga yang sepertinya memang disiapkan untuk menyelamatkan diri ketika banjir. Raya baru saja memijakkan kakinya di kayu plafon saat bunyi hantaman terdengar lebih kuat.

Kemudian ... Listrik padam.

"Fajar?" Teriak Raya. Tak ada jawaban.

"Fajar?" Raya bersuara lebih keras.

"Jangan menegerjaiku Fajar, ini tidak lucu, Fajar jawab aku!" Raya langsung terisak. Masih tak ada jawaban, Raya hanya mengandalkan sinar bulan yang masuk lewat celah dinding papan dekat kayu plafon.

Banjir itu hanya satu meter di bawah atap, air penuh lumpur, gelap, hitam dan pekat. Tak ada tanda-tanda Fajar naik ketangga.

Raya semakin panik dan menangis
" Fajaaaaaaar, ya tuhan ... Fajar jawab aku! Ini tidak lucu, Fajar." Raya semakin putus asa, hujan lebat menenggelamkan suaranya.

Raya mengusir ketakutannya sendiri, apakah Fajar tenggelam dan hanyut karena dinding dapur jebol dihantam batu dan kayu. Raya menangis, dia memang tidak menyukai laki-laki itu, tapi bukan berarti dia ingin Fajar mati dengan cara seperti ini, Raya masih mengingat saat Fajar memaksanya untuk memanjat lebih dulu, jika saja dia yang memanjat belakangan, tentu saja dialah yang hanyut saat ini.

"Fajaaaaar?" Raya tak berhenti memanggil, namun tak ada jawaban sama sekali, Raya ketakutan. Bagaimana hidupnya kedepan tanpa lelaki itu, jika saja tidak selamat, apa yang harus dilakukannya? dia masih ingin bertengkar dengan Fajar, masih ingin berdebat sepuasnya.

"Fajaaar," panggil Raya menghiba, dia putus asa, mereka baru bersama beberapa hari, inikah akhir kisah rumit mereka?

***

vote dan komen yang rame, biar cepat update sampai tamat.

Yang mau baca langsung tamat, bisa dibaca di karya karsa.

I Hate You ! But I Love You ( 21 + )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang