(Sembilan)

9.2K 807 51
                                    

Satu jam berdebat tanpa ada pemenang di antara mereka. Raya tidak mau tidur di kamar, Fajar pun tidak mau mengalah dengan memberikan sofanya pada Raya. Sungguh, rumah ini tidak memiliki apa-apa yang bisa diandalkan. Kondisi rumah yang sudah tua, jangan berharap akan ada selimut hangat untuk dipakai saat tidur, atau malah kasur empuk yang membuat mata langsung terpejam karena nyaman.

Jam satu malam, malam yang kian larut, tapi dua manusia itu masih belum terpejam, Fajar menjadikan jaket coklatnya sebagai selimut untuk dirinya sendiri. Dia terpaksa mengalah pada Raya saat wanita itu memaksa ingin tidur di atas sofa. Fajar akhirnya merelakan sofa itu walaupun tidak ikhlas.

Fajar tidur di lantai yang berjarak sekitar dua meter dari sofa, Raya meringkuk menghangatkan dirinya sendiri, kakinya terasa gemetar menahan dingin. Tak ada kain yang layak untuk mereka gunakan sebagai selimut. Raya melirik Fajar yang bulu matanya masih bergerak menandakan laki-laki itu belum tidur, bunyi jangkrik yang memecah kesunyian malam berpadu dengan suara hujan yang menimpa atap.

Tiba-tiba Fajar bangkit dari tidurnya, mengibaskan ujung lengan jaketnya saat merasa jaket itu basah. Fajar mengamati lantai itu, benar saja, air hujan mengalir melalui celah dibawah daun pintu masuk, mungkin hujan terlalu deras sehingga parit tak lagi muat menampung debit air sehingga air melimpah ke halaman dan masuk ke dalam rumah.

Raya menjadi terusik dengan krasak krusuk Fajar, dia tidak bisa menahan rasa penasarannya kali ini. Wajah kesal Fajar menandakan sesuatu sedang terjadi.

"Ada apa?"

"Jaketku basah, air mengalir masuk rumah." jawab Fajar datar.

"Ooh," jawab Raya, dia tidak tertarik untuk bertanya lagi.

"Seharusnya aku yang tidur di sofa itu," kata Fajar kemudian.

"Kita sudah sepakat, apa kau lupa?"

"Aku terpaksa," ketus Fajar.

"Kau selalu seenaknya," lanjut Fajar.

Raya membalikkan badan membelakangi Fajar, dia tak mau memberikan sofa ini kepada Fajar, setidaknya ini lebih aman dari pada kamar penuh tikus.

"Geser!" Suara besar itu begitu dekat dengan telinga Raya. Raya menoleh dengan mata mendelik heran dan marah.

"Mau apa kau?"

"Aku mau tidur, geser!"

"Maksudmu, kita berbagi sofa? "

"Kalau kau tidak mau, silahkan kau saja yang tidur dilantai!" perintahnya.

Raya hanya melongo, pilihan yang diberikan Fajar tak ada yang menguntungkannya, berbagi sofa dengan laki-laki itu akan menghilangkan rasa nyaman pada dirinya, dia tidak sudi dekat-dekat dengan Fajar, tapi tidur di lantai yang basah karena air yang meluap masuk ke dalam rumah, akan lebih buruk lagi. Raya tak punya pilihan lain selain memiringkan tubuhnya memberi tempat untuk Fajar.

Sofa tua itu berderit saat tubuh besar Fajar mulai berbaring menyamping searah dengan Raya. Aroma rempah dan pinus menguar kuat dari tubuh Fajar, membuat penciuman Raya menjadi nyaman, ini adalah aroma yang membuatnya begitu rileks. Jika semua parfum akan membuat perutnya bergejolak maka lain dengan aroma yang dimiliki lelaki ini.

"Sedikit lagi! aku hampir terjatuh," perintah Fajar, Raya mendengus kesal berusaha lebih merapat ke sandaran sofa.

"Masih ada kamar satu lagi, kenapa kau memaksa tidur di sini?" tanya Raya, dia mengumpat saat Fajar menempel ke punggungnya.

"Kau saja yang tidur di situ! Atapnya bocor, tak ada apa-apa di sana selain kamar yang dindingnya mulai lapuk, bisa saja ular sudah bersarang didalamnya."

"Jangan menakutiku!" bentak Raya.

"Ular suka dengan wanita bersifat ular, " ejek Fajar. Raya langsung tersinggung, ucapan Fajar itu berarti mengatainya wanita ular.

"Kau baru saja menghinaku!"

"Aku tak peduli, hei ... geser sedikit!" Fajar terus mendesak Raya, bahkan wanita itu sudah kesulitan bernafas.

"Mau geser kemana? Ini udah mentok, tau?" Raya memiringkan wajahnya, melirik kilat jahil di mata Fajar.

"Kau mengerjaiku ya?"

"Tidak, kau ke ge-eran." Fajar berkata pelan tepat di puncak kepala Raya, wangi melon lembut tercium samar dari rambut itu.

"Aku benci situasi ini, bagaimana bisa kita malah berbagi sofa setelah yang apa yang terjadi di antara kita, kau dan aku seperti kucing dan anjing, akan aneh jika kita terlihat akur," celoteh Raya.

"Yang mau akur denganmu siapa?"

"Terserah padamu lah, susah berbicara dengan pria sombong sepertimu." Raya memejamkan matanya, kehangatan mulai melingkupinya dan membuat matanya mengantuk.

"Dasar nona manja!"

"Sekali lagi kau bilang aku manja, aku akan menendangmu dari sofa," ancam Raya.

"Alah! kakimu sebesar lidi sok-sok kuat menendangku," ejek Fajar lagi, dia tertawa puas melihat Raya semakin emosi.

"Pantas saja kau tak laku-laku, ucapanmu tak pernah terdengar enak."

"Siapa bilang aku tak laku, buktinya ayahmu membeliku untuk menutup malu anaknya yang hamil diluar nikah."

"Yaakkk...." Raya bangkit tiba-tiba membuat Fajar terjatuh ke lantai dengan pantat mendarat lebih dulu.

"Kenapa kau marah? Kau harus menerima kenyataan itu, belajar menerima takdirmu sendiri!" jawab Fajar mengusap sikunya yang sempat terbentur dengan lantai.

"Tidak usah bicara jika kau terus menghinaku!"

"Kau yang lebih dulu menghinaku, mengatakan aku tak laku-laku, asal kau tau saja, aku bisa membuatmu jatuh cinta padaku, jika aku mengeluarkan pesona ku yang sebenarnya."

"Memangnya apa pesonamu? Kau terlalu biasa-biasa saja, sombongmu saja yang kelewatan."

Fajar tak berniat lagi melanjutkan perdebatan, wanita itu takkan berhenti mencecarnya, dia bangkit mendorong bahu Raya agar kembali memberinya tempat.

"Mau apa kau?"

"Mau makan, makan kamu."

"Jangan macam-macam!" Perintah Raya. Fajar tidak menghiraukan, dia kembali menempati sisi yang disediakan Raya tadi.

"Aku mau tidur." Fajar mulai memejamkan matanya, tidak lama bunyi nafas teratur terdengar dari mulutnya. Raya tercekat saat tangan kokoh Fajar melingkar diperutnya, dan ... untuk pertama kali dalam hidupnya, jantungnya berdebar -debar.

*****
Komen banyak, supaya aku update cepat.

I Hate You ! But I Love You ( 21 + )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang