Part 1:
"Selamat siang, Pemirsa, kali ini kita akan bergabung dengan Rina yang akan melaporkan situasi demo yang diadakan oleh sebagian mahasiswa di lingkungan Monumen Nasional. Baik, Rina, bagaimana situasi demo yang terjadi di Monas saat ini?" Suara seorang pembawa berita dari salah satu stasiun televisi memenuhi ruangan sebuah warteg. Salma duduk, menonton berita itu sambil menikmati nasi sayur dan es teh manis.
"Ya, baik, terima kasih. Berdasarkan pantauan yang kami lihat pada siang hari ini. Bisa dilihat di belakang saya ada sejumlah mahasiswa berdiri di bak mobil pick up sambil berorasi untuk memperingati Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998."
"Sal, ada Nathan tuh!" Rahma menyikut lengan Salma dan secara otomatis, cewek itu tersedak. Nasi yang semula di mulut, langsung tertelan hingga dia terbatuk-batuk. "Iiih, kebiasaan, minum dulu."
Salma segera meneguk habis es-teh dan kembali memandangi layar televisi. Nathan bersama dengan teman-temannya sambil mengenakan almamater berwarna biru, berdiri di bak mobil pick-up, dan berteriak dengan megaphone. "Teman-teman, apa yang kita butuhkan? Perlindungan hukum! Apa yang kita butuhkan? Perlindungan hukum!" cowok itu berteriak dengan lantangnya, "terima kasih juga kepada Bapak Polisi yang telah menjaga keamanan negara kita, hidup Pak Polisi!"
"Ya ampun." Salma geleng-geleng kepala. "Bohong dia berarti, katanya tadi dia nggak bisa jemput gue karena ada tugas."
"Ya nggak sepenuhnya salah sih, Sal. Itu juga tugas ... sebagai aktivis yang bertanggungjawab. Lagian dia anak BEM, kan, wajar aja dong untuk turut serta memperingati."
"Kenapa harus bohong, coba? Kan dia bisa jujur, nggak suka nih gue kalau dia bohong gini."
"Kayaknya habis ini bakal ada perang dunia ketiga lagi, deh," sindir Rahma sambil terbahak-bahak. "Lagian kenapa sih kalian tuh nggak balikan lagi aja? Apa enaknya ttm-an, atau apa istilahnya, hubungan tanpa status? Nggak enak, Sal, asli, mau cemburu nggak bisa. Nggak punya hak untuk itu. Mau ngelarang juga nggak bisa, kan nggak ada status."
Salma cemberut dan mengesah panjang. "Kalau itu, mending lo tanya dia deh, Rah. Kenapa dia masih nggak nembak gue? Mana ada cewek yang nembak duluan, gengsi. Kegeeran nanti dia."
"Ooooh gitu," Rahma tertawa geli, "berarti mau ditembak lagi, nih? Kayak waktu SMA ya? Eh, dulu ditembaknya di mana sih? Di warung pecel lele apa di jembatan penyeberangan?"
"Dua kali kan ditembaknya, pertama di warung pecel lele, kedua di warung ketoprak. Masih inget dulu gue, ditembaknya di depan Mas Dodo, penjual ketoprak langganannya. Terus kemarin kan gue diajak lagi ke sana, eh ternyata penjualnya udah beda. Tahu nggak, Nathan bilang gimana?"
"Bilang apa?"
"Katanya gini, 'kalau yang jual Mas Dodo, dia biasanya langsung paham pesanan saya apa. Togenya harus banyak biar subur, cabenya dikit aja, kalau sama pedagang yang baru itu harus dijelasin lagi terus rasanya beda, jadi butuh waktu supaya lebih klop dan kenal sama pedagang baru. Sama aja kayak pacaran, Sal, pedekate sama yang baru tuh bikin capek', maksudnya itu gimana ya, Rah? Nggak paham gue."
Rahma menahan tawanya melihat ekspresi dan suara Salma yang berpura-pura menirukan Nathan. "Itu artinya dia udah nyaman banget sama lo, Sal, tapi nyaman kalau nggak jadian ... ya kasian juga hehehe. Nanti gue bilangin ke Nathan ya, biar dia nembak lo lagi, tapi harus diterima."
"Jangaaan, Rahma, nggak gitu. Males deh curhat sama lo kalau dikit-dikit diaduin." Salma meletakkan sendok dan garpunya dengan tidak selera.
"Dari dulu sampai sekarang tugas gue masih sama, nggak berubah juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
THANK YOU SALMA
Teen FictionTRILOGI DEAR NATHAN (TELAH TERBIT DAN DIFILMKAN) "Jadi saya harus bantu gimana biar ceritanya selesai? Bantu doa aja gimana, Sayang?" Aku mendelik ketika dia memanggilku, 'Sayang'. "Ceritain semuanya, aku mau dengar." Mendengar dia bercerita adalah...