6. Insting

98.5K 8.7K 3.8K
                                    


     Aroma secangkir kopi memenuhi indera penciuman Nathan, tidak, dia tidak berada di kafe atau kedai kopi, melainkan di kamarnya. Ayahnya baru saja pulang dari Aceh dan membawa kopi Gayo. Dia mendekatkan gelasnya ke hidung, menghidu aromanya dalam-dalam, seakan aroma kopi dapat menyegarkan paru-paru, dan membuat otaknya terasa rileks. Lantas menyeruputnya perlahan. Rambutnya masih setengah basah karena sepulang mengantarkan Zanna, dia bergegas mandi di rumah, kegerahan. Nathan meletakkan cangkir kopinya di meja dan beralih mengambil ponsel. Dia membuka balkon kamar, sembari meletakkan benda tipis itu di telinga. Suara tut-tut pertanda telepon tersambung, digantikan suara lembut perempuan.

"Halo, selamat malam, ini dari kepolisian. Bisa bicara dengan Nyonya Salma."

"Hm, dengan saya sendiri, ada apa, ya?"

"Malam ini Anda akan ditangkap karena dituduh telah mencuri hati seorang laki-laki, namanya Nathan."

"Apaan sih, Nath, garing."

"Hahaha," Nathan tertawa geli sambil mengusap tengkuknya, malu sendiri karena Salma tidak merespons. "Kenapa belum tidur?"

"Emangnya kalau belum tidur, kenapa?" nada suara Salma terdengar jutek.

"Saya vid-call, ya?"

Salma yang sedang berbaring di ranjang, kontan terduduk tegak sewaktu melihat layarnya bergetar, mendapat undangan panggilan video. Jari telunjuknya menge-slide layar ke atas hingga muncul Nathan sedang bertelanjang dada. Spontan saja dia membalikkan layar ponselnya.

"Kok gelap? Sal? Mati lampu, ya?'

"Kamu pake baju dulu!"

"Kenapa, sih? Panas, Sal."

"Ya udah, aku matiin nih sambungannya."

"Iya iya, saya nyari kaos dulu." Terdengar bunyi derap kaki masuk, dilanjutkan suara gedubrak seperti benda jatuh. Disusul suara erangan kesakitan Nathan. "Dasar ranjang bego, nggak liat apa ya gue lagi jalan?" Salma menahan tawanya mendengar umpatan Nathan. "Udah nih."

"Beneran udah?"

"Iya."

Salma memutar ponselnya, hingga bisa melihat wajah Nathan. "Masih aja ya, gadis kaku. Eh, tadi itu yang sama kamu siapa, sih? Kok saya nggak pernah dikenalin?"

"Teman aku."

"Serius, cuma teman."

"Ya teman kampus, kakak tingkat aku. Memangnya kenapa? Aku nggak boleh jalan sama teman sendiri? Kamu aja bisa tuh," Salma masih sebal.

"Gimana tadi teater-nya?" Cowok itu mengubah arah topik percakapan, paham kalau Salma masih kesal, dan dia tidak mau memperumit keadaan.

"Hm," Salma bergumam tidak antusias, ingin rasanya dia menjawab; harusnya bagus, tapi mata aku nggak fokus di sana, tapi ke kamu!

"Oh iya, sebentar, kamu tunggu di situ." Nathan meletakkan ponselnya di meja dalam posisi tegak. Membiarkan Salma memandang tembok dengan kening mengernyit heran. Selang beberapa detik berikutnya, dia kembali muncul sambil membawa sebuah donat yang di tengahnya diletakkan lilin. "Kue buatan kamu udah saya makan, habis, jadi kita belum sempat ngerayain ya?"

Salma terperangah. "Kue? Rahma ya yang ngasih?"

"Jangan marah ke Rahma, niat dia baik kok. Lagian kamu kenapa nggak ngomong kalau mau ngasih saya kejutan?"

"Kalau ngomong, namanya bukan kejutan."

"Ya udah, saya salah, maaf ya?" Bahkan meskipun dibatasi layar ponsel, tatapan Nathan seolah mampu menembus layar. Hening melingkupi keduanya, hanya sesekali terdengar deru napas berirama satu-satu. "Gimana? Megang kue gini, capek juga," suara Nathan menyadarkan.

THANK YOU SALMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang