5. Derai Anomali

88.9K 10.3K 3.9K
                                    

5. Derai Anomali

"Nath? Udah bangun? Kalau udah baca chat ini, kita ketemuan di kampus ya. Nanti tolong jemput gue di gerbang depan, gue nggak berani masuk sendirian."

Nathan baru saja membuka mata dan tangannya segera mengambil ponsel di nakas, kontan saja dia terduduk tegak di ranjang sewaktu membaca. Sebuah chat WA terkirim dari Zanna setengah jam yang lalu. Cowok itu segera bangkit dari ranjang, terburu-buru ke kamar mandi untuk membilas badan, ganti baju dan hanya butuh waktu lima belas menit baginya bersiap-siap hingga Bi Ijah mengernyit melihatnya.

"Mau ke mana, Mas?"

"Ngampus."

"Tumben amat buru-buru." Bukan tanpa alasan kenapa Bi Ijah berkomentar begitu, masalahnya Nathan termasuk tipe manusia paling santai sedunia. Dia bisa bangun semau-maunya, tiap kali Bi Ijah menasihati supaya tidak telat, dia bakal berdalih dengan kalimat, "Alah baru aja telat lima belas menit, kalau nggak boleh masuk sama dosen ya udah cabut ke kantin."

"Makan dulu, Bang!" teriak Daniel yang sedang asyik duduk di meja makan, "Bang, udah liat kado bumble-bee-nya, kan?" tanyanya di sela aktivitas mengunyah makanan.

"Udah, berangkat ya." Nathan melambaikan tangan dan segera naik ke motornya, meninggalkan Bi Ijah yang menghela napas di meja makan.

****

Zanna sibuk menggigiti kukunya sambil bersembunyi di balik gerbang utama kampus. Tiap kali ada orang lewat, dia akan balik badan dengan jantung berdebar dan tubuh dibalur keringat dingin. Sesekali matanya menatap sekeliling, takut bertemu dengan seseorang yang begitu tidak ingin dia temui. Anehnya, kini seluruh orang rasanya seperti musuh yang sewaktu-waktu dapat menyerangnya. Dia merasa seperti berada di kandang singa. Teleponnya berdering, Zanna berjengit. Dan seperti menemukan oase di tengah gurun pasir sewaktu melihat nama Nathan muncul di layarnya. "Halo?"

"Lo di mana?"

"Di gerbang utama, Nath."

"Gue udah di gerbang ... coba lo keluar."

Zanna melongok, menemukan Nathan sedang celingak-celinguk mencarinya. "Oke, gue liat lo, gue ke sana ya." Zanna mematikan ponsel, bergegas menemui Nathan. "Nath?"

"Kelamaan ya? Gue baru bangun. Lo kenapa nggak masuk aja duluan? Kenapa nunggu di gerbang?"

Cewek itu menggeleng. "Takut, Nath."

Melihat raut wajah Zanna, tampaknya gadis itu bersungguh-sungguh mengucapkan. Nathan menyerahkan helm, yang biasa digunakan Salma. "Iya udah, kita masuk."

"Kalau ada Rio, gimana?"

"Lo nggak sendirian, Na. Ada banyak teman-teman lo di kelas." Nathan berusaha menenangkan. Kendaraan Nathan parkir di dekat gedung fakultas. Zanna melepaskan helm dan menundukkan wajah, berharap supaya dirinya cepat sampai di kelas. Bahkan kalau bisa, dia memakai topeng supaya wajahnya tersembunyi dari keramaian. "Na? Yuk."

Zanna masih terdiam.

"Na?"

Karena panggilannya tidak jua direspons, Nathan meraih pergelangan tangan Zanna dan menuntunnya masuk ke dalam. Menjadikan punggungnya sebagai tameng agar wajah Zanna tersembunyi. "Na, kan tadi gue udah bilang ... lo nggak perlu takut, ada banyak orang berdiri di sebelah lo," Nathan mengingatkan sekali lagi. Mengajaknya masuk ke kelas. Situasi masih sama; tidak ada yang berubah. Suara temannya saling sahut-menyahut, berteriak hanya karena kehilangan pena, dan seketika diam sewaktu melihat Zanna.

"NAAAA!!! Ya ampuuuuun lo ke mana ajaaaaaaa?!!!"

"Iya ih baru keliatan!!! Ngilang ke mana?"

"Kemariiin tuh ujian bingung Naaaa mau nyontek siapa!! Kok nggak ada kabar si, Naaaa? Di grup WA juga kok jarang muncul?"

THANK YOU SALMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang