Suara alunan lagu Kalangkang yang dinyanyikan Ninik Meida menyambut Salma begitu keluar dari kamar dengan rambut setengah basah dan sudah bersiap memakai pakaian rapi untuk berangkat kuliah. "Mungguhing dina impenan ... geuning sakitu deudeuhna, kanyaaahnu wening bersih ... satia jadi kakasih," suara Bi Iyem mengalun merdu berpadu dengan suara cicit burung di depan rumah dan deru klakson motor milik pedagang sayur.
Cewek itu tersentak begitu melihat Nathan di dapur sedang mengusili Bi Iyem yang sedang mencuci piring. "Kok pagi banget udah di sini? Tumben," Salma menarik kursi yang berderit menyeret lantai dan mencomot sebuah sandwich.
"Mau jemput kamu." Nathan menyusul duduk di sebelah Salma.
"Oh." Salma mengangguk dan memberikan sekotak makanan ke Nathan. "Bekal nasi goreng, buat kamu."
"Bi Iyem yang buat? Makasih, Bi, gimana nggak cinta sama Bi Iyem, nih.""Kok Bi Iyem, sih?" tanya Salma sembari menautkan alisnya, "aku yang buat."
"Siapa?"
"Aku!"
"Oooh Nyonya Nathan? Belajar jadi calon istri yang baik, ceritanya?"
"Nathan ih," Salma mendengus jengah, "masih pagi udah gombal nggak jelas."
"Tapi suka, kan?"
"Hanjakal ... hanjakal teuing, endah ngan ukur kalangkang ... harepan ... harepan diri, sing nyanding jeung kanyataan." Bi Iyem menyusul sambil meletakkan piring yang sudah dilap kering ke atas meja.
"Lagu apaan itu Bi, artinya apa?" Nathan terlihat penasaran.
"Lagu Sunda," Salma yang menjawab.
"Itu tentang kabogoh, kalau perasaan untuk saling sayang dan cinta teh rasa paling indah di hidup. Tapi kalau belum dapat ya dikejar atuh, kudu berjuang dan kalau sudah diraih ya jangan dilepasin gitu aja."
Mendengar penjelasan Bi Iyem, Nathan melirik Salma. "Betul itu, Bi harus itu, kalau udah dapet ... ya nggak boleh disia-siain, iya kan, Sal?"
Salma mengedikkan bahu.
"Novel apaan nih?" Nathan melirik buku di sebelah piring Salma dan membaca judulnya, "Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Tebal amat, bisa buat ganjal pintu nih."
"Sembarangan ya, ini tuh termasuk buku sakral buat aku. Kamu tahu nggak dulu, bukunya Pramoedya Ananta Toer, Tan Malaka, Karl Max, Soe Hok Gie, itu dilarang di pemerintahannya Soeharto karena dianggap membawa pemikiran berbahaya, takut mendoktrin pikiran mahasiswa."
"Saya pernah dengar tuh dari alumni, bahkan karena dilarang, ada satu orang yang sengaja fotokopi memperbanyak dan disebarin ke teman-temannya terus dilapisin sama koran tebal biar nggak ketahuan," Nathan menjawab sambil menggigit tahu di meja.
"Aku tuh tiap kali nggak semangat nulis selalu ingat perjuangannya Pramoedya, dia waktu jadi tahanan aja masih nyisihn waktu untuk berkarya, kamu tahu nggak dulu ... tahun 1965, dia pernah ditahan sama tentara, dipukul pakai popor senapan sampai nggak sadar, padahal istrinya baru melahirkan. Dan paling kejam lagi, seluruh naskahnya dibakar di halaman rumahnya, aku nggak bisa ngebayangin gimana sakitnya. Aku pasti udah nggak akan nulis lagi, trauma, tapi nggak sama Pramoedya."
Nathan menahan tawa mendengar cerita Salma.
"Iiih kok kamu malah mau ketawa sih? Aku ceritanya serius."
"Karena kamu serius, makanya saya ketawa, iya udah lanjut cerita. Saya dengerin nih." Dia menopang dagu dengan kedua tangan bertaut, sepasang matanya fokus menatap Salma.
KAMU SEDANG MEMBACA
THANK YOU SALMA
Teen FictionTRILOGI DEAR NATHAN (TELAH TERBIT DAN DIFILMKAN) "Jadi saya harus bantu gimana biar ceritanya selesai? Bantu doa aja gimana, Sayang?" Aku mendelik ketika dia memanggilku, 'Sayang'. "Ceritain semuanya, aku mau dengar." Mendengar dia bercerita adalah...