Bagian Kesembilan Belas

10 9 0
                                    

Dibalik cerita yang sebenarnya

========================

Tadi Nova meminta pada Oktora, Dika, Elsa, dan Ai untuk diberi kesempatan berdua saja dengan Ara. Ia ingin menceritakannya dengan Ara tanpa ada mereka berempat.

Oktora, Dika, Elsa, dan Ai sedikit kecewa karena mereka juga ingin mendengar ceritanya. Tapi apa boleh buat, itu adalah permintaan Nova yang harus mereka hargai.

"Ra, aku senang karena kamu mau dengar ceritaku." ucap Nova ketika duduk berdua dengan Ara, duduk tepat di sampingnya.

Ara hanya menatap lurus ke depan. Ia tidak berkomentar, menanggapi apa yang dikatakan Nova tadi. Saat ini, ia sedang berusaha untuk menenangkan hatinya, biar sekarang ia tidak meluapkan rasa bencinya pada Nova.

"Aku ingat dulu aku sama kamu pernah duduk seperti ini." Nova mengingat-ingat kenangannya bersama Ara sebelum kejadian pada hari itu, beberapa tahun yang lalu. Kejadian sebelum Ara membencinya. Ditambah lagi, kejadian kemarin bersama Titi.

"Jadi cuma ini yang ingin kamu ceritakan ke aku, Nova? Hari ini bukan kayak dulu Nova, hari ini sudah berubah. Jadi kamu tidak usah lagi membahas cerita itu." ucap Ara sedikit kesal, ia masih berusaha untuk mengontrol dirinya untuk tetap tenang. Tapi perkataan Nova membuat kontrol dirinya hilang kendali dan jadilah ia meluapkan sedikit demi sedikit perasaan kesalnya.

"Tapi karena cerita itu, aku jadi banyak belajar, Ra. Aku belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama."

"Oh, sekarang kamu sudah sadar, itu kan yang mau kamu cerita?"

Nova mengangguk. Melihat Ara, menatap wajah kesalnya. Ia sadar, itu memang pantas didapatkannya.

"Ah, percuma Nova. Toh, sadar ataupun tidak, itu tidak akan merubah apa-apa."

"Tapi dulu......."

"Ibarat sebuah paku yang sudah kamu tancapkan ke tembok terus kamu cabut, pasti akan meninggalkan jejak." potong Ara sebelum Nova mengucapkan sesuatu yang terdengar sedikit ragu-ragu.

"Jadi, kamu masih ingat?"

"Pastilah, Nova. Dan entahlah, aku bisa melupakannya atau justru aku akan mengingatnya terus."

"Maaf, Ra." ucap Nova kemudian.

Ara diam. Kata 'maaf' harusnya menjadi mantra ajaib untuk ia bisa melupakan apa yang pernah dilakukan oleh Nova, namun kata 'maaf' hadir setelah kejadian itu sudah lama berlalu. Membuat rasa benci di hati Ara terus tumbuh selama bertahun-tahun. Hingga kata 'maaf' tidak bisa membuat rasa benci itu hilang saat ini juga.

"Nova..kalau cuma ini tujuan kamu untuk menceritakan tentang kita dulu, lebih baik aku ke kelas saja." ucap Ara hendak berdiri dari tempat duduknya.

"Tunggu, Ra. Kamu tidak boleh pergi dulu. Kamu harus dengarkan cerita aku." ucap Nova memegang pergelangan tangan Ara dengan lembut. Ia berusaha menahan Ara untuk tidak pergi, sebelum ia selesai menceritakan hal yang membuat mereka berdua jadi salah paham. "Dan ini bukan cuma soal kita dulu, Ra."

"Terus?" tanya Ara dengan nada suara yang sedikit ketus. Ia sudah malas mendengar cerita Nova.

"Ini soal kita yang sekarang."

"Oh, kalau begitu langsung ke intinya saja deh. Aku malas dengar kamu ngomong berputar-putar kayak begini, Nova." Ara melihat ke arah Nova yang duduk di sampingnya.

"Oke, Ra. Jadi aku mau cerita tentang manusia jadi-jadian. Lebih tepatnya, alasan kenapa berita itu bisa tersebar."

"Terus alasannya apa? Eh, maksud aku, apa alasan kamu menyebarkan cerita itu?"

SAYAP PATAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang