“Kita ikat matamu dulu ya, Mama dan Papa punya kejutan untuk Anna,” ujar Mama membalikkan tubuh Anna dan mengambil selembar sapu tangan bercorak persegi guna menutup mataku dan menyimpulkannya di belakang kepala.
Anna semakin penasaran, apa yang akan diberikan Mama kali ini. Di hari ulang tahunnya yang ke sepuluh. Dalam sebuah pesta kecil-kecilan di rumah.
Halaman belakang rumah yang luas, disulap Mama menjadi tempat yang amat meriah dengan ornamen balon dan bunga-bunga mekar di sana-sini.
Meja panjang dengan taplak berwarna putih, terhidang berbagai makanan khas perayaan ulang tahun anak-anak. Walau di usiaku yang sekarang, aku sering menolak ketika disebut anak-anak. Aku selalu merasa telah dewasa.
“Ayo coba Anna raba,” pinta Mama ditingkahi polah tawa teman-teman yang turut serta.
Dengan tidak sabar, Anna membuka tutup matanya dan berteriak kegirangan. “Kucing!”.
“Ya Allah Mama! Terima kasih ya, Ma,” sambut Anna memeluk kucing kecil berwarna putih dan memeluk Mama dan Papa bergantian.
Gadis kecil yang periang itu berulang kali memeluk kucing mungil di tangannya. Teman-teman Anna mulai mengerubungi Anna dan mengucapkan selamat, atas kehadiran kucing yang telah begitu lama didambakan Anna,”
“Selamat ya Anna,” ucap mereka satu persatu. Para gadis kecil itu kini saling bercanda dan mengelus si kucing bergantian.
“Kau akan beri nama apa kucing ini?” tanya Papa membuat suasana yang riuh, menjadi senyap. Semua mata kini mengarah pada Anna.
“Nama? Sebuah Nama?” tanya Anna kembali.
“Iya, tentu saja kau harus memberinya nama, karena ia akan menjadi temanmu,” saran Papa.
Dahi Anna terlihat membentuk garis di antara mata. Netranya menyipit, dan bibirnya bergerak-gerak. Sesekali Anna bergumam. Ia masih bingung, nama apa yang tepat untuk binatang kesayangannya.
“Nanti deh, Anna mau nyari yang bagus dulu buat dia, yang istimewa gitu lo, Pa. Bukan yang dadakan,” pinta Anna membuat Papa menggangguk tanda mengerti. Ia pun tidak mau memaksa Anna melakukan apa yang tidak disukai pada hari istimewanya.
“Hei, apa yang kau pikirkan? Ayo masuk ke dalam,” Seketika panggilan setengah teriakan dari seorang gadis muda seusianya, membuat gadis kecil berambut panjang itu tersadar dari lamunannya. Kenangan tentang masa indah terakhir kali itu selalu saja menari-nari di pelupuk mata saat Anna merasa kesepian.
Tangan kecilnya menarik koper besar berwarna hitam beranjak dari halaman rumah mewah yang kini menantinya. Ada perasaan gundah yang tiba-tiba menyergap di dada dan beribu tanya di kepala.
Akankah ia bahagia di sini? Ia kenal betul tantenya ini. Keluarga tante tidak pernah bersikap ramah pada ia dan mama semasa dulu. Lalu, bagaimana mungkin ia akan bahagia? Sepertinya dia akan tinggal di neraka bermandikan api kemarahan yang bertubi-tubi. Kini ia tidak punya tempat bersandar. Andaikan dulu Papa atau Mama punya banyak saudara, mungkin lebih mudah untuk memilih. Tetapi kini jalan seperti buntu. Ia terjebak dalam sebuah ruangan tanpa arah pulang.
Ann mendesah pelan. Seakan mencari sisa-sia energi yang ada. Sungguh ia tidak bersemangat memasuki rumah megah yang akan menjadi penjara baginya seumur hidup.
“Ayo Piu, kita masuk,” ajaknya pada seekor kucing kecil yang sedari tadi berada di sekitar Anna.
Anna mengambil kucing kecil itu dan mendekapnya. Perlahan ia mengelus bulu-bulu putih tersebut saat akan beranjak ke dalam. Anna merasakan kehadiran Papa dan Mama bersamanya, saat ia mendekap Piu.
“Kita akan tinggal di rumah Tante Nita, kamu jangan nakal ya, Piu,” nasihat Anna pada Piu, seakan ia mengerti. Piu menjawab dengan mengeong.
“Aku tidak tahu apa kita akan baik-baik saja di sini, tapi kurasa, aku tidak punya pilihan lain, jadi mengertilah Piu,” ujar Anna kembali.
“Hei, kau masih di situ rupanya?” bentak sebuah suara membuat Anna terkejut dan terburu-buru masuk ke dalam.
“Ah, mereka memang kasar sekali bukan?” ujar Anna lagi pada Piu sendu.
“Dari tadi kamu ngomong apa, sih? Di suruh masuk malah petentengan berdiri di situ. Kamu pikir kamu bayi yang harus digendong-gendong apa!” Kali ini Tante Nita ikut bersuara. Tidak Kalah sangar dari anaknya. Anna mendesah dan mempercepat langkahnya.
“Kamarmu di atas!” tambah Tante Nita tanpa basa-basi.
Anna masih saja terpaku menatap tangga yang berliku. “Segera naik dan bawa barang-barangmu ke atas,”
Piu yang sedari tadi berada dalam gendongan Anna turun dan berlari mengikuti anak tangga. Sepertinya ia paham Anna kesulitan membawa kopernya yang cukup besar dan berat untuk anak seusia dia.
“Hei! Kucing itu!” sergah Tante berusaha mengejar Piu. Namun Anna menghalangi Tante Nita.
“Tante, izinkan Piu tinggal di sini ya...Anna mohon Tante,” pinta Anna mengiba.
“Kucing! Tinggal di dalam rumahku? Kamu pikir ini kebun binatang apa? Bawa dia segera keluar!” perintah Tante Nita tanpa peduli dengan sepasang netra Anna yang kini menghamburkan bulir-bulir bening.
Anna menggapai dan menggenggam tangan Tante Nita, walaupun kemudian kakak ibunya itu melepaskan genggaman tangan mungil Anna.
“Anna mohon, Tante. Biarkan Piu bersama Anna di atas. Hanya ia satu-satunya harta berharga milik Anna yang selamat,” pinta Anna memelas
bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SECRET GARDEN (Telah Menjadi Novel dengan Judul Gadis Tanpa Senyuman)
RomanceGadis cantik yang kehilangan kedua ayah dan ibu secara tragis. Perjalanan hidup membuatnya harus tinggal bersama keluarga tante yang tidak menginginkannya. Ia amat merindukan keluarga yang harmonis seperti sedia kala. Hingga takdir mempertemukannya...