Bab 3: Teman Baru

7 1 0
                                    


Setelah melalui waktu 30 menit, Anna dan Haikal tiba di sekolah. Sekejap, ia memperhatikan sepupunya yang sedang berkumpul bersama teman-teman. Terlihat, seorang pria berwajah indo tangannya bergerak-gerak dan mulut yang sibuk bicara seperti sedang menjelaskan sesuatu. Entah apa, Anna tak hendak mencari tahu hal Ikhwal pembicaraan mereka.

Anna mengacuhkan pemandangan tersebut dan berlalu ke dalam kelas. “ Kenapa?” tanya Haikal saat meletakkan tas di dalam laci meja belajar.

“Tidak apa-apa,” jawab Anna acuh dan duduk di bangku.

Tidak berapa lama, bel bunyi tanda kelas akan dimulai. Para pelajar yang sedari tadi berseliweran di luar, kini berbondong-bondong memasuki kelas mereka. Begitu juga dengan Susan yang semenjak tadi berkumpul bersama teman-temannya di bangku depan kelas mereka.

Ibu guru berkacamata, dan dress batik dipadu dengan rok span warna hitam, kini memasuki kelas dengan sebatang rol kayu panjang dan buku-buku tebal berada dalam pelukannya. Tampaknya mereka akan mengikuti kelas hitung menghitung.

***

Bel berdentang dua kali, pertanda jam istirahat pun tiba. Para siswa tampak riang menyambut panggilan bel yang menggema.
Kantin mulai dipenuhi hiruk pikuk remaja berbalut seragam putih abu-abu. Mereka memesan makanan di meja kasir dan menuju ke meja dan bangku pilihan untuk menanti makanan pesanannya.

Anna memesan nasi putih dengan lauk ikan goreng sambal lado dan sayur kacang yang iris yang ditumis dengan bumbu bawang merah, bawang putih, cabai hijau dan tomat.

Ia menuju salah satu bangku di depan meja kasir. Sendok yang sedari tadi berada di dalam piring, mulai berpindah ke dalam mulut Anna saat Haekal muncul dengan menu pesanannya.

“Kau baru sarapan?” tanya Haekal melirik sekilas ke piring Anna.

“Iya, sekalian buat makan siang juga ini,” jawab Anna sambil menyuap kembali mulut berbibir tipisnya.

“Kamu nggak sarapan di rumah?” tanya Haekal heran.

“Nggak, ah. Makan di rumah itu bikin seret. Susah payah ditelen. Butuh air bergalon-galon supaya makanan yang lumayan bisa lewat dengan mudah di tenggorokan,” ujar Anna panjang lebar membuat Haekal menyimpulkan senyum di bibir.

“Ada-ada aja kamu,Na. Masak segitunya,”  timpal Haekal tertawa kecil.

“Aku nggak pernah merasa tinggal di rumah
Bagiku tinggal di sana sama seperti tinggal di penjara. Fisikku emang nggak disiksa. Tapi batinku selalu saja merasa nyeri. Gimana coba, aku udah jelas-jelas ada hubungan darah dengan mereka. Aku keponakan Tante Nita. Tapi kenapa mereka tega sekali mengacuhkan keberadaan ku. Seakan aku bukanlah anak yang pantas dikasihi,” oceh Anna sebelum menyuapkan nasi ke mulutnya.

Kening Haekal berkerut. Matanya menyipit seolah tidak percaya.

“Hmm, aku malah ngirain mereka ngerjain pekerjaan yang lain sementara kamu membereskan halaman dan membuang sampah,” ujar Haekal.

“Lalu, apa yang membuatmu bertahan di rumah itu?” tanya Haekal pula.

“Entahlah, mungkin aku tidak tahu hendak kemana lagi. Aku nggak punya saudara yang kukenal. Mungkin ini efek dari orang tuaku yang jarang bersilaturahmi ke rumah saudara. Sementara Om dan Tante tak pernah mengenalkan ku pada kerabat. Aku merasa telah lenyap ditelan bumi. Terkadang aku merasa hidup di neraka dan ingin bunuh diri saja,” desah Anna sambil meletakkan sendok dan garpu beriringan.

“Hai kalian. Boleh aku duduk di sini?” tanya seorang gadis berjilbab lebar yang kini telah berdiri di depan mereka.

Kebetulan di depan Anna dan Haekal ada bangku yang masih kosong. Mereka mempersilakan gadis itu bergabung dan makan bersama.

“Maaf bila mengganggu, aku lihat nggak ada lagi meja kosong di tempat lain, sementara aku sudah terlanjur pesan bakso.” Gadis itu menjelaskan. Anna dan Haekal menganggukkan kepala.

Dia adalah siswi kelas 12 B yang terkenal rajin ke mushala sekolah. Teman-teman bilang nama organisasinya Rohis. Anna kenal dengan gadis ini, walau tidak pernah mengobrol dengannya.

“Kamu Rahel ya?”tanya Anna.

“Iya, kok kamu tahu?” tanya Rahel kembali

“Gimana nggak tahu, anak Rohis kan nggak banyak di sekolah kita.” Anna tersenyum kepada Rahel.

“Oh iya, kenalin, ini Haekal, siswa baru di kelas kami.” Anna memperkenalkan Haekal pada Rahel. Haekal mengulurkan tangan, tapi Rahel tidak menyambut tangan Haekal. Ia hanya menangkupkan kedua telapak tangannya di dada.

“Oh iya, aku lupa, anak Rohis kan nggak salaman sama lawan jenis ya, hehehe.” tandas Haekel membuat Rahel tersenyum.

“Iih, bukan anak Rohis kaliii! Banyak kok di luar sana yang bukan anak Rohis juga nggak salaman, hehehe.” Mereka akhirnya tertawa bersama mendengar penjelasan Rahel.

“Tadi aku dengar ada yang mau bunuh diri, siapa sih?” tanya Rahel.

Mata Anna dan Haekal saling bertemu sejenak. Kemudian pandangan Anna beralih ke Rahel,”Kamu kepoan juga ya, ternyata,”

“Iih, maaf, tadi nggak sengaja terdengar olehku. Aku cuma khawatir mendengarnya. Seseorang yang bunuh diri, mungkin butuh pertolongan. Setidaknya teman untuk bercerita.” Rahel menjelaskan kekhawatirannya.

“Aku yang mau bunuh diri, Bel,” jawab Anna menjawab keingintahuan Rahel.

“Hmm,” desis Gadis penggemar bakso itu.

“Itu hanya lintasan sesaat, bila aku merasa tertekan dengan pekerjaan yang tiada batas dan merasa sendirian.” Anna kembali menjelaskan.

“Kau pasti orang yang amat bermanfaat di rumah,” ujar Rahel membuat kening Anna berkerut.

“Bermanfaat apanya, dia cuma dimanfaatin karena nggak punya orangtua,” ujar Haekal.

“Aku pernah dengar dari kajian di mushalla. Sebaik-baik manusia itu yang bermanfaat untuk orang lain. Pastinya dalam kebaikan ya,” ujar Rahel kembali.

“Jadi, kalau aku ngerjain semua pekerjaan rumah sementara sepupuku tak pernah melakukan apa-apa itu amat wajar?” tanya Anna.

Rahel kembali tersenyum, ia mengaduk-aduk baksonya yang baru saja di antar ibu kantin.

“Masalahnya mungkin terletak pada keadilan, Anna harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sampai mengurusi sepupunya yang sudah seusia dengannya. Itu terdengar kelewatan banget menurutku,” sambung Haekal.

Tidak berapa lama bel pun berbunyi, Anna dan Haekal telah menghabiskan makanannya, sementara Rahel masih terburu-buru mengunyah baksonya.

“Kami duluan ya Hel. maklum, pelajaran fisika, nggak boleh telat semenit pun,” ujar Anna bangkit dari bangku dan pergi meninggalkan Rahel bersama Haekal.

Begitu mereka tiba di kelas, guru pelajaran Fisika mengikuti mereka dari belakang. Syukurlah mereka tidak telat masuk ke kelas. Kalau tidak, bisa-bisa mereka tidak akan diizinkan masuk oleh Ibu Naris.

(Bersambung)

THE SECRET GARDEN (Telah Menjadi Novel dengan Judul Gadis Tanpa Senyuman)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang