“Kau ke sekolah dengan siapa barusan?” cegat Haekal depan pintu kelas mereka. Saat itu kelas XI itu belum begitu ramai. Siswa dan siswi masih berdatangan satu persatu. Haekal juga baru saja tiba di sekolah saat Anna tiba.“Dengan Biyu, siswa kelas XII, kenapa? Kau kenal?” tanya Anna beruntun.
“Ia yang sering bersama Meira kan? Apa ia pacar sepupumu?” tebak Haekal memandang wajah Anna mencari kepastian
“Dia memang sekelas dan sering bersama Meira,tapi mereka nggak pacaran kayaknya,” jawab Anna lugu.
“Kamu nggak usah sok tau. Mana tahu mereka pacaran, kamunya aja yang nggak tahu. Ya, kayak kamu sama aku misalnya,” jelas Haekal seakan ia tahu tentang Meira dan Biyu.
“Hehe, kamu nggak usah bikin aku ketawa deh. Aku dan kamu memang nggak ada hubungan apa-apa. Kamu cuma orang yang tersesat dan terpaksa berteman denganku.” Anna berlalu dan meletakkan tas sekolah di dalam laci meja belajarnya.
Haekal mengikuti Anna dari belakang.Ia masih penasaran dengan gadis yang duduk di depannya. Tetapi ia tidak mau memaksa Anna lebih jauh. Karena ia tidak ingin merusak hubungan baik yang selama ini mereka jalin.
'Andaikan ia tahu, apa yang kurasakan,’ batin Haekal berucap sembari matanya tak lepas memanda Anna yang kini sibuk menulis sesuatu di buku. Selain membaca, Anna juga suka menulis. Terutama puisi. Telah banyak puisi yang dikumpulkan dalam sebuah buku. Semua tak lepas dari saran seseorang penjaga perpustakaan saat ia sedang membaca. Kebanyakan bacaannya waktu itu adalah kumpulan puisi.
Penjaga pustaka itu berkata,”kelak kau juga akan bisa menulis puisi mu sendiri,”
Sejak saat itu, Anna mempelajari cara menulis puisi. Ia menggubah isi hatinya selama ini dalam bentuk puisi-puisi yang di tulis di bagian belakang buku pelajaran awalnya.
Lama-kelamaan, Karena terlalu sering menulis, Anna memutuskan menyediakan sebuah buku khusus untuk puisi.
‘Hidup di maya pada’
‘Tak akan pernah abadi’
‘ Hatiku yang terluka’
‘Tercabik lara diri’
‘Abadi sampai ke akhir’
‘Hingga Tuhan bertanya pada anak manusia’
‘Ada apa gerangan dengan dirimu’
‘Hingga kau memiliki nurani bejat’
‘Saling menghakimi dan menghujat’
‘Dendam tanpa batas usia dan sebab’
‘Hingga binasalah kasih sayang tanpa rasa’
‘Duhai hidup, ada apa gerangan?’
Seperti biasa, jam istirahat Anna habiskan bersama Haekal di kantin. Tapi kali ini ada yang berbeda. Sarapan Anna nasi goreng dengan telur mata sapi sudah terhidang. Begitu juga dengan Haekal. Ia siap menyantap batagor kesukaannya pagi itu saat seorang pria bertubuh atletis dan tersenyum manis menyapa Anna dan Haekal.
“Hai, aku ikut gabung ya?” pintanya pada mereka.
Anna dan Haekal saling pandang. Namun, pria itu memilih langsung duduk di depan Anna.
“Di sini kosongkan?’ ucapnya.
Tidak berapa lama, semangkuk bakso pesanan pria itu datang menghampiri. Mereka mulai berlombaan memasukkan sendok ke dalam mulut masing-masing.
“Oh iya, besok aku ikut pertandingan sepakbola di stadiun Hadi Murtala. Kamu datang ya?” pinta Haekal setelah terasa perutnya berisi.
“Wah, akhirnya kamu bisa ikut pertandingan ya? Kalau gitu, hari ini kamu traktir aku,” jawab Anna.
“Boleh. Tapi kamu wajib datang.” Haekal kembali menegaskan keinginannya.
“Aku yang akan anterin kamu,” ujar Biyu tersenyum pada Anna.
Anna memandang datar wajah Biyu. Kenapa laki-laki ini belakangan sering nongol tanpa diminta. Seperti sekarang ini. Bukankah biasanya jam segini dia bersama Meira atau Susan?
“Ntar Meira atau Susan ngambek lihat kamu pergi.bareng aku.” Anna menyuapkan lagi nasi goreng dan potongan telur mata sapi itu ke mulutnya.
“Kenapa harus cemburu? Siapapun boleh kok, berteman denganku.” Biyu kembali tersenyum. Ia memang pemuda yang ramah dan murah senyum hingga menampakkan gigi-gigi putihnya yang tersusun rapi.
Jam istirahat kembali berakhir. Mereka menuju kelas masing-masing. Dua orang gadis menghampiri Biyu yang berjalan beriringan dengan Anna dan Haekal. Dengan serta merta mereka menarik lengan Biyu menjauhi Anna dan Haekal.
“Kamu ngapain sih, Biyu?” Dengan sorot mata penuh emosi Susan mulai kesal pada Biyu.
“Kalian ini kenapa? Bukankah dia juga keluarga kalian? Apa salahnya kalau aku bersamanya?” Jawab Biyu yang heran dengan perilaku Susan.
“Dia itu cuma benalu. Bukan siapa-siapa.” Setelah melampiaskan kekesalannya, Susan berlalu masuk ke kelas.
“Sudahlah Biyu, tidak usah dihiraukan ya. Dia itu cuma sedang cemburu.” Meira berusaha menjawab kegelisahan Biyu.
Mereka berdua pun segera berlalu menuju kelas. Susana teman-teman sudah duduk di bangku mereka masing-masing. Pikiran Biyu masih tertuju pada Anna. Wajah murung Anna, masih menari-nari dalam ingatannya. “Gadis yang tak pernah tersenyum,” batinnya.
Entah kepedihan seperti apa yang dipendamnya sendiri, sehingga aura itu tampak di wajah cantiknya. Rasa ingin tahunya akan kehidupan Anna pun mulai tumbuh tak terbendung. Tak salah rasanya, jika besok ia akan pergi bersama Anna.
***
“Kemana si Biyu tiba-tiba menghilang,” kata Anna pada Haekal saat menyadari Biyu tak bersama mereka lagi.
“Ah, sudahlah. Nggak usah dipedulikan. Paling lagi sama cewek lain,” hibur Haekal.
Jam pelajaran bahasa Indonesia kali ini diakhir dengan tugas yang diberikan ibu guru.
Mereka diminta meresensi sebuah buku bacaan.
“Aku nggak suka membaca,” ucap Biyu saat mereka mulai beringsut dari bangkunya masing-masing.
“Tapi kamu harus membaca kalau mau ngerjain PR Bu Nisa,” ujar Anna menyimpulkan senyum di bibir Haekal.
“Coba kalau PRnya main bola. Aku pasti suka, hehehe,”
Selasar sekolah mulai dipenuhi hiruk pikuk para siswa yang telah keluar dari kelas masing-masing. Haekal dan Anna masih terus saja mengobrol saat sepasang mata memperhatikannya tajam.
“Aku akan bilang sama mama dan papa,” gumam gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SECRET GARDEN (Telah Menjadi Novel dengan Judul Gadis Tanpa Senyuman)
RomanceGadis cantik yang kehilangan kedua ayah dan ibu secara tragis. Perjalanan hidup membuatnya harus tinggal bersama keluarga tante yang tidak menginginkannya. Ia amat merindukan keluarga yang harmonis seperti sedia kala. Hingga takdir mempertemukannya...