Bab 8: Praduga

4 1 0
                                    

Bentakan itu membuat kepala Anna yang sedang sangat berat terpaksa membuka mata. Perlahan ia bangkit duduk dan menyandarkan punggungnya pada kepala tempat tidur yang terbuat dari kayu.

Ia seperti merasakan gempa bumi yang sedang mengguncang tubuhnya yang lemah. Dalam kepalanya seperti ada berjuta kunang-kunang yang menari-nari.  Berat rasanya walau hanya sekedar untuk duduk.
Walau begitu Anna berusaha untuk menyimak setiap kata yang keluar dari bibir berlipstik merah tua itu.

“Ayo jawab! Kenapa kau malah di rumah. Padahal ini belum waktunya pulang bukan?” Wanita itu menundukkan sedikit kepalanya kepada Anna.

Ia seakan tidak mau tahu apa yang terjadi pada Anna. Yang ia tahu, Anna harus membantunya di rumah. Dan ia tidak ingin rugi dengan keberadaan Anna.

“Anna pusing Tante,” jawab Anna lemah.

“Pusing apaan! Pusing habis nangis diputusin laki-laki tadi,” tudingnya membuat Anna kesal.

“Anna sedang nggak enak badan, Tante,” pinta Anna mengabaikan ocehan Tante Nita yang yang tidak suka melihat Anna menganggur.

Setiap Anna punya waktu luang, pasti ada saja perintah Tante Anna. Kadang terkesan memaksakan kehendak.

“Bilang aja kalau kau malas, ya kan?” tuduh Tante Anna yang tidak peduli kondisinya.

“Anna sungguh-sungguh. Izinkan Anna istirahat sebentar ya, Nanti kalau udah agak mendingan, Anna turun ke bawah.” Anna meminta pengertian Tante Anna yang seakan tidak mau tahu.

Selepas Tante Anna pergi, ia menghirup udara dalam-dalam dengan penciumannya dan melepaskannya perlahan dengan mulut. Saat ia merasa teramat kesal dan amarahnya seakan membakar sampai ke ubun-ubun akan sikap semena-mena Tante Nita dan anak-anaknya, ia selalu berusaha menenangkan api yang bergejolak dalam jiwa mudanya.

Anna kembali membaringkan tubuhnya. Ia seperti melayang dan tenggelam dalam duka yang dalam akibat kehilangan Piu. Walau bagaimanapun tak mudah baginya mengenyahkan rasa bersalah terhadap Piu.

Memang salahnya, ia lupa menutup pintu kamar sebelum berangkat sekolah. Ia telah berjanji pada Tante Nita, bila Piu tak boleh menjejakkan kaki ke lantai bawah.

Hari ini adalah hari pertama Piyu ke bawah. Namun sayang, ini adalah kali pertama dan terakhir baginya. Karena ia tak perlu repot lagi menahan diri agar hanya bermain di kamar Anna. Mungkinkah Piu bosan? Dan ingin ikut dengan Anna ke sekolah. Entahlah, berbagai pertanyaan kini seakan menyerang kepalanya yang buntu.

Hingga sang mentari beranjak ke peraduan, Anna masih belum meninggalkan tempat tidur. Ia masih betah berlama-lama berada di dalam gelungan selimutnya.

Bagi gadis itu, hidup seperti sudah berakhir Dentang jam seakan tak bisa menggema lagi di telinga. Ini adalah sebuah kehancuran.

“Ya ampun Anna! Kau belum juga sehat?” pekik Tante Nita memenuhi ruangan tidur itu.

Anna beringsut. Menggeser tubuhnya setengah duduk, “Anna masih sakit Tante,”

“Lalu. Kamu mau aku jadi babu di rumah ini? Begitu? Aku sibuk Anna! Nggak sempat jadi gantiin kerjaan kamu!” Tante Nita kembali mengeluh akan pekerjaan rumah yang harus dilakukannya.

Pembicaraan mereka terpotong, saat bell pintu memberitahukan kedatangan seseorang. Tante Anna segera berjalan menuruni anak tangga.

Tidak berapa lama, ia muncul lagi dan mengabarkan bahwa seseorang ingin bertemu dengannya. Anna berusaha bangkit, dan perlahan menuju tangga.

Seorang pemuda yang telah berada di ruang tamu. Mendengar langkah kaki Anna yang putus-putus. Ia menuju tangga dan melihat Anna yang kepayahan menuruni anak tangga. Pemuda tampan itu berusaha untuk membimbing Anna turun. Namun, Anna dengan tegas menolak.

“Jadi, yang dikatakan seseorang yang ingin menemui ku itu kamu?” tanya Anna.

Biyu mengangguk canggung mendengarnya.

“Aku tidak mau bertemu kamu,” ujar Anna mengeraskan suaranya.

Sekali lagi Anna berusaha menaiki tangga dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Kekuatan tubuhnya sudah tak sanggup lagi menyokong kakinya melangkah. Anna pun tak sadarkan diri dan disambut oleh Biyu.

Tanpa sepengetahuan siapapun, Biyu menggendong tubuh Anna yang terkulai tak berdaya dan membawanya ke lantai atas. Di atas hanya ada kamar Anna yang pintunya terbuka. Jadi dengan mudah ia bisa tahu kemana harus membawa Anna.

Biyu meletakkan Anna di pembaringan. Menyelimuti tubuhnya hingga seseorang datang ke kamar.

“Biyu! Kau di sini?” Ujar suara itu.

“A, aku hanya mengantarkannya ke atas,” Biyu mencoba menjelaskan

“Apa aku harus percaya padamu?” tanya gadis itu penuh selidik.

(Bersambung)

THE SECRET GARDEN (Telah Menjadi Novel dengan Judul Gadis Tanpa Senyuman)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang