Tiga

9 2 0
                                    

"Sebuah harapan yang fana
Sebuah ingin hanya sekedar kata
Sebuah pilihan yang membuat dilema
Impian rasa yang tak pernah jadi nyata

Cinta yang telah tumbuh sekian lama
Rasa yang semakin hari semakin menjadi
Hanya satu permohonan dari diri ini
Perasaan ini terbalas oleh rasa yang sama

Bukan tak berniat untuk mengungkap
Bahwa aku mencintai dirimu
Bukan tak berniat untuk berucap
Bahwa rasa ini ada untuk mu

Aku terlalu takut melihat realita
Saat kau tau apa yang aku rasa
Saat kau tau bahwa dirimu yang selalu aku damba
Kau pergi meninggalkan diriku tanpa rasa

Biarlah tetap begini
Tetap mencintaimu dalam sunyi
Tak perlu kau tahu rasa ini
Biarlah tetap kita seperti ini"

Tepukan gemuruh terdengar dari sebuah ruangan kelas dimana seorang siswi nya baru saja selesai membacakan sebuah puisi hasil karya nya.

"Puisi yang sederhana, namun memiliki makna yang luar biasa ya, Via. Puisi kamu selalu memiliki ciri khas nya tersendiri, bagus bagus" kata bu Hana-guru bahasa Indonesia sembari kembali bertepuk tangan yang di ikuti oleh seluruh teman teman sekelas Via, tak terkecuali dengan Alvin.

"Terima kasih bu" ucap via dengan senyuman yang masih tercetak jelas di wajahnya.

"Kalau begitu silahkan kembali ke tempat duduk kamu."

Kemudian via kembali ke tempat duduk nya semula.

"Via itu emang keren banget kalo udah soal puisi" ujar Alvin pada Bima yang duduk disebelahnya

"Hmm ya wajarlah, dia kan anak karya sastra" ucap Bima yang terus fokus pada buku yang ia baca.

Alvin memperbaiki penampilannya saat mendengar namanya di panggil untuk membacakan puisi miliknya. Saat sampai didepan kelas, Alvin berdeham singkat untuk menetralisirkan kegugupannya, karena jujur saja puisi bukanlah kemampuannya.

Tak lama kemudian bel tanda pergantian pelajaran berbunyi membuat bu Hana menyudahi pembelajarannya pada hari itu.

"Oke anak-anak. Jalan-jalan ke Banjarmasin, singgah sebentar di Bali, sampai menunggu hari Senin, Untuk kita bertemu kembali" ucap Bu Hana yang kemudian beranjak pergi meninggalkan kelas tersebut.

"Gue ngga bisa bayangin kalo besar nanti si Via jadi kaya bu Hana" ucap Andika setelah memutar duduknya menjadi berhadapan dengan Alvin dan Bima.

"Udah liat depan aja lo, ntar lagi bu Lusi masuk" ucap Bima menyebut nama guru biologi mereka. Andika berdecak kemudian memutar kembali posisi duduknya.

*****

"Maaf anak anak, mengganggu makan siang kalian. Saya ingin mengumumkan bahwa anak kami yang bernama Alvin Harfa Harianza dan Vanilla Primatasya harap datang ke ruang kesiswaan setelah bel pulang sekolah berbunyi. Terima kasih"

Pengumuman tadi berhasil menyita perhatian seluruh siswa siswi di SMA Garuda, tak terkecuali dengan keempat orang lelaki yang tengah duduk di meja makan menyantap makan siang mereka.

"Itu tadi nama lo sama Via kan ,Vin?" Tanya Bima memastikan.

"Iyalah, nama gue kan belum ganti"

"Kira kira kenapa ya lo sama Via di panggil ke ruang kesiswaan?" Tanya bima lagi

"Mungkin mereka bakalan jadi narasumber buat sekolah yang studi banding ke sini" ucap Galih.

Alvin dan teman temannya sontak terkejut mendengar penuturan dari Galih. Bukan, bukan karena ucapan Galih yang terlampau panjang untuk ukuran seseorang yang irit bicara, karena mereka juga sudah lumayan sering mendengar Galih berbicara panjang seperti itu. Namun isi dari apa yang diutarakan Galih lah yang membuat mereka terkejut.

"Seriusan lo?" Tanya Alvin

"Kan gue bilang mungkin" ucap Galih yang membuat teman temannya berdecak.

*****

Seperti pengumuman tadi siang. Sekarang Alvin dan Via sedang berjalan beriringan menuju kantor kesiswaan karena bel pulang telah berbunyi 10 menit yang lalu.

"Eh iya Vi, gue mau nanya" ucap Alvin setelah beberapa waktu mereka kembali diam

"Apaan?"

"Lo kenapa sih kalo buat puisi tuh kata-katanya sederhana banget?"

"Maksudnya?"

"Yaa you know girl, kebanyakan orang tuh buat puisi pake banyak majas dan gunain diksi yang mungkin bisa di bilang jarang kita gunain sehari-hari, tapi kayanya semua puisi lo yang pernah gue denger selalu pake kata kata yang lazim banget di gunain"

"Maybe, becase I'm not one of that person?" ucap Via sembari mengendikkan bahu tak peduli

"Tapi gue akuin kok puisi lo bagus, buktinya sampe di akuin bu Hana gitu"

"Gue kira lo kepo buat siapa puisi itu gue tuju"

Eh? kelepasan

"Emang buat siapa?"

"Eh itu ruangan Pak Harto, ayo Vin takut pak Harto nunggunya kelamaan" ucap Via yang langsung berjalan mendahului Alvin dengan langkah cepat

"Dasar cewek ketinggian gengsi! Ngga dia bilang juga tau kalo puisi itu buat si Bima" ucap Alvin pada dirinya sembari menggelengkan kepalanya melihat kearah Via yang sudah berjalan jauh didepannya.

Alvin sedikit berlari untuk dapat menyamakan langkahnya dengan Via.

"kenapa sih Vi?" Tanya Alvin dengan senyum menggoda kearah Via yang masih menunduk malu

"Udah ah ngobrol mulu, ayo masuk"

Kemudian mereka berdua masuk kedalam ruangan Pak Harto setelah mendapat izin dari sang empunya ruangan, mereka juga menduduki kursi yang tersedia berhadapan dengan pak Harto yang hanya di batasi meja miliknya.

"Maaf mengganggu waktu pulang sekolah kalian. Karena waktu kompetisi akan dilaksanakan lusa, saya ingin bertanya tentang perkembangan kalian selama bimbingan. Apakah ada kesulitan? Atau ada sesuatu yang tidak terpenuhi?" Tanya Pak Harto

"Ah tidak Pak, semua telah kami persiapkan dengan baik" jawab Alvin

"Besok kalian tidak perlu sekolah, kalian bisa istirahat di rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri kalian"

"Oh iya pak, apakah lusa kami pergi masing-masing juga atau menggunakan kendaraan sekolah?" Tanya Via

"Lusa kalian datang ke sekolah pukul 7 pagi, kita akan berangkat bersama-sama"

"Baik pak" ucap mereka bersamaan

"Hanya itu saja, sekarang kalian boleh kembali ke kelas kalian"

PEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang