Ryan.
Titik-titik hujan yang halus masih turun sedikit demi sedikit dari sisa hujan badai yang sempat mengguyur. Jalanan yang gelap gemerlap dengan lampu kendaraan, padat merayap dengan antrian motor yang berjubel saling mendahului dengan satu alasan yang sama: sampai tujuan tanpa terguyur hujan lebat tambahan.
Ryan yang baru saja memarkirkan mobilnya dengan susah payah karena akses jalan yang menyempit menyernyit saat beberapa tetes hujan yang dingin mendarat di hidungnya, tangannya menyentuh pintu mobil hitamnya yang penuh titik air yang sama dinginnya saat membantingnya kembali menutup. Sembari memboyong gitarnya, ia berlari-lari kecil mendekati pintu masuk café untuk menghindari hujan yang menyentuh rambutnya dan juga merembes kedalam sarung gitar di punggungnya.
Kala masuk kedalam, ia melihat beberapa meja kosong, namun tak sebanyak meja-meja yang terisi dengan yang sibuk bercengkrama dan berbicara dengan sesamanya dengan gelas-gelas tinggi yang berembun maupun dengan cangkir pendek yang beruap membumbung. Mungkin semua masih enggan beranjak dan pulang kerumah dan membiarkan diri mereka dirundung titik hujan halus yang berpotensi membesar kembali.
Lelaki itu langsung berputar menuju pojok ruangan, dimana sofa yang nyaman bertengger di depan coffee table panjang, berantakan dengan tas berwarna hitam, buku catatan, bekas piring dengan sisa pinggiran roti diatasnya, dan juga gelas tinggi berembun yang isinya sudah raib entah sejak kapan. Sedangkan wanita yang mendiami sudut itu asik fokus dengan laptopnya, dengan telapak tangan kanannya yang seakan menghilang tenggelam pada lengan jaket tebal hitam sedang sibuk menggerakan mouse. Kepalanya sedikit mengangguk membentuk ketukan irama lagu yang sedang ia dengarkan dari sebelah headsetnya yang tersumpal ditelinga kanan.
"Sa." Lelaki itu memanggil sampai wanita itu hingga dia mendongak dan menatap temannya yang berdiri menjulang disebelah meja.
"Eh, udah dari tadi?"
"Nggak, baru aja, macet di jalan, lumayan. Titip ini yah, mau ke counter dulu." Ryan menurunkan gitar dari gendongannya dan menaruhnya tepat di samping tubuh Arsa. Bagian leher gitarnya melorot dari sandaran sofa sampai tangan Arsa menahannya agar tidak oleng dan jatuh.
"Lo mau nambah minum nggak? Atau makan? Biar gue sekalian pesenin lagi."
"Hm, frappe green tea deh."
"Batuk aja lo, kebanyakan minum dingin hujan-hujan gini. Tadi es juga kan?"
"Bawel, cepetan pesen, sana!"
Ryan terkekeh meninggalkan Arsa yang sibuk mengatur kembali letak gitar disebelahnya. Lelaki itu menghampiri bagian counter, pas sekali setelah Kala membalik badannya kelar mengocok krim pada mesin yang mengepul beruap.
"Oh, Ryan, udah sampe? Udah ketemu Arsa belum?"
"Lah, udah tadi, Teh Kala emang gak liat aku masuk sini?"
"Lagi riweuh dari tadi, masih rame soalnya jadi nggak ngeh. Kalian lagi ngulik-ngulik lagu lagi nih?" Kala tersenyum kecil sambil mengelap kedua tangannya pada apron hitam di pahanya. Dia meraih kertas dan pensil sebelum bertanya kembali pada Ryan.
"Biasa, konten buat event nanti deh, tungguin aja ya, di soundcloud gue."
"Iya, iya, siap. Kayak biasa gak pesenan lo?"
"Hooh. Sama tambah green tea frappe lagi satu."
"Buat Arsa?"
"Ya, siapa lagi coba maniak green tea."
Kala hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menuliskan pesanan lelaki di hadapannya. "Udah nih, itu aja? Toraja blend satu, sama frappe green tea satu. Nggak sekalian makannya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Scio
FanfictionRahasia Arsa hanya untuk Ryan, tanpa tahu Ryan punya satu juga yang sebenarnya ingin dibagi namun ragu dengan apa yang dihadapinya nanti.