Ryan.
Dari balik seruputan kopi hangat yang ia pesan, Ryan menelisik gerak-gerik Arsa yang ada di hadapannya. Ia tatap lekat-lekat perempuan yang sekarang sedang asik mengaduk kuah isi mangkuk yang dari tadi hanya ia putar-putar. Kalau ia bertanyapun Ryan sudah menaksir temannya itu akan berdalih bahwa makanan yang ada didepannya itu terlalu panas untuk sekedar diseruput pelan-pelan. Ryan juga tahu Arsa punya lidah sensitif bagai lidah kucing, tapi kalau ditaksir-taksir sudah lebih dari seperempat jam perempuan itu seperti tidak ada niatan untuk menyicip walaupun sedikit.
Hari ini mereka menghabiskan malam di kedai ramen yang dulu Ryan sendiri rekomendasikan pada Arsa. Tepatnya dua jam yang lalu perempuan itu menghubunginya dan mengajaknya makan malam, memang Bandung kala itu baru saja diguyur hujan besar dan mungkin menyantap ramen dengan kuah hangat yang gurih menjadi pilihan yang nikmat saat itu.
Tapi Ryan tahu Arsa. Dia bukan tipe orang yang mau inisiatif makan di luar saat udara dingin menggigit dan lebih memilih bergelung di kasur kostannya, jadi agenda Arsa mengajak Ryan ke tempat yang berlokasi terbilang jauh hanya untuk makan malam membuat lelaki itu curiga sejenak. Apa lagi sekarang melihat perilaku Arsa yang terkesan fidgety terasa seperti perempuan itu menyembunyikan sesuatu di belakangnya. Ditambah perkataan Arsa saat dia mengajaknya pertama kali, 'it's on me.' katanya, bagaimana Ryan tidak semakin curiga?
Tatapan Ryan masih lekat pada perempuan dihadapannya kini, yang ia sadar juga bolak-balik melirik kearahnya seakan ada sesuatu yang ingin ia katakan namun entah kenapa urung ia lakukan. Iapun memutuskan untuk angkat bicara terlebih dahulu.
"Sa,"
"Ya?"
Kali ini Arsa bisa menatap Ryan langsung. Matanya agak melebar, seolah terkejut hanya dengan panggilan namanya.
"Tumben lo pengen ramen. Ngidam ya?" Ryan memutuskan untuk bercanda sedikit. Ia masih punya perasaan tidak enak menodong Arsa langsung dengan pertanyaan langsung, ia tidak ingin percakapannya seakan seperti menginterogasi perempuan itu.
Arsa mengendikkan bahu sekenanya, lalu meraih gelas tinggi lemon tea di sampingnya untuk menyedotnya sedikit. Setelahnya ia kembali menunduk, meraih sendok sup dan mengaduk isi mangkuknya lagi.
"Iya, lagi pengen aja."
"Terus pengennya jauh banget ya, sampe nyeret gue ke Gerlong."
"Ya abis, kan lo bilang ramen disini yang paling enak."
"Tapi dari tadi mangkuk lo diaduk-aduk doang, dicicip aja belom. Nanti melar loh, mienya."
Mendengar Ryan berkata demikian, Arsa perlahan menghentikan adukannya dan menyendok kuah mie untuk diseruputnya. Lalu diteruskan dengan menyumpit mie yang legit hampir melebar dan menyuapkan pada mulutnya pelan-pelan.
Sambil memakan porsinya sendiri, Ryan terus mengamati perempuan di hadapannya menyeruput mie dengan perlahan. Dia sengaja membiarkan diam yang makin lama makin terasa panjang diantara mereka berdua untuk mengira-ngira timing yang tepat untuk bertanya langsung pada Arsa.
"Okay, Sa, seriously, ada apa?" akhirnya Ryan bertanya.
Yang diajak bicara tetap menyeruput kuah dengan perlahan, bahkan tidak repot-repot melihat kearah temannya yang punya tatapan penasaran.
"Apanya?"
"Lo minta diajak makan kesini bukan sekedar ngidam doang kan?"
"Loh, gue emang lagi pengen kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Scio
FanfictionRahasia Arsa hanya untuk Ryan, tanpa tahu Ryan punya satu juga yang sebenarnya ingin dibagi namun ragu dengan apa yang dihadapinya nanti.