Pengakuan

143 8 4
                                    

Ryan.


"Yan,"

Yang dipanggil terkejut, pandangannya dipalingkan dari layar handphone-nya yang daritadi dia perhatikan.

"Kenapa, Ki?"

Yang dia dapat adalah diam sesaat dari Kika, yang kini merengutkan alis.

"Gue udah manggil lo 4 kali."

"Ah, sorry, sorry, gue nggak denger."

Ada suara notifikasi percakapan masuk dari handphone Ryan. Dengan cepat dan gumam 'bentar ya' dari mulutnya, pandangan lelaki itu boros lagi kepada alat komunikasinya lagi. Dan otomatis senyum terkulum muncul di bibirnya.

"Yan!"

Ryan kemudian menatap Kika lagi, ia letakkan handphone-nya di meja.

"Ya?"

"Lo tuh denger nggak gue ngomong apa?"

"Denger, kok. Terus gimana tadi, si Raga?"

Kika mendecak, memutar bola matanya.

"Eh, salah, ya? Maaf, terus tadi ngomongin siapa sih? Raga apa Mas Yudhis?"

Memang acara temu kangen kali ini tidak lain dan tidak bukan dalam rangka Kika, sahabat Ryan dari SMA itu, untuk mencurahkan segala unek-unek yang ia rasakan. Selain catching up dengan bertukar cerita pengalaman sehari-hari, Kika biasanya bercerita tentang Raga (kekasihnya dari kala masa kuliah dulu) yang kini sering membuat perempuan itu senewen sendiri, dan juga lelaki bernama Yudhis sebenarnya dia merupakan senior di perusahaan tempat Ryan magang dulu dan dengan kekuatan takdir dipertemukan dengan Kika suatu saat) yang akhir-akhir ini gencar menghubungi Kika kala senggang karena pacarnya yang akhir-akhir ini tidak sempat meluangkan waktu untuk perempuan itu.

Tapi hanya dengan satu pesan chat dari Arsa yang masuk ke handphone-nya, tiba-tiba konsentrasi Ryan mendadak buyar.

Perempuan di sebrang sana itu hanya bertanya apakah Sabtu nanti mereka bisa bertemu lebih awal sebelum mengisi panggung karena Arsa ingin menunjukkan melodi dan lirik revisi yang mereka nanti-nanti untuk lagu baru yang dari kemarin terus menerus mereka olah hingga membentur jalan buntu.

Lelaki itu melihat Kika makin merengutkan keningnya. Ia melirik ke handphone sahabatnya di sisi meja yang masih berpendar redam layarnya.

"Siapa sih?"

"Ada deh." Jawab Ryan masih tersenyum-senyum sendiri, yang sebenarnya ingin ia tahan.

Ia melirik sekilas kearah Kika, yang masih saja memicingkan matanya dalam diam. Lalu beberapa saat kemudian perempuan itu membuka mulut.

"Arsa ya?"

Telak.

"Well—"

"Iya kan? Arsa?"

Ryan makin takut mengelak, ia rasa semua alasannya percuma di mata Kika yang tahu benar kala dia berbohong sedikit saja.

"Iya. Arsa."

"Kok senyum-senyum terus? Ini beneran Arsa?"

Telak lagi. Ryan tidak bergeming tiba-tiba, menelan ludah diam-diam.

Dia dengar Kika menggumam panjang, ia rasakan juga pandangan menyelidik dari sahabat di depannya seakan ia tahu ada yang tidak beres dari Ryan kali ini.

Memang benar kata orang, perempuan instingnya tajam.

"Oh?"

"Apa?"

ScioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang