17 Desember 2018
"Udah belanja bulanan?" tanyaku ke Carlisle. "Aku tau kamu males keluar pas hujan salju kayak gini."
"Udah," jawabnya. "Noodles."
Aku mutar mataku untuk kesekian kalinya. "Carlisle, no."
"I'll come to your house, then. In case if I'm starving," ujar Carlisle pelan.
"Promise?" tanyaku. "I won't let you die from starvation."
Carlisle tertawa. "Aku pengen matiku seru. Poison, maybe?"
Aku natap lekat-lekat muka Carlisle yang lagi tertawa. Ganteng, sayang bego.
Aku noyor dia. "Watch your mouth."
• • •
Nggak nanggung-nanggung, Carlisle seharian di rumahku. Bagus sih, siapa tau dia berubah pikiran.
"Kalo kamu mati nanti, kamu yakin bakal bahagia di sana?"
Kayaknya aku nggak bosen-bosen sama topik ini, hadeh.
Carlisle menoleh karena pertanyaanku. "Yah, Bodoh. Aku nggak mati buat nyari kebahagiaan. Sia-sia."
"Weird. Terus ngapain bunuh diri?"
Carlisle kembali menatap televisi sambil tersenyum. "I'm in search of peace."
Jawaban dari dia bikin aku diem, kicep. Sebegitu menderitakah Carlisle?
"Kedamaian? Kedamaian dari apa?"
"Not much, Ursa," jawabnya singkat, capek mungkin sama aku yang kepo.
"Example?" tanyaku nggak sabaran.
"An example, huh?" tanyanya dan deketin wajahnya ke mukaku. "Myself?"
![](https://img.wattpad.com/cover/183569242-288-k873909.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
chance // hrj ✔️
Kurzgeschichten' "I'm sorry. For not taking the last chance." cover: nicola samori, 1977