14 Desember 2018
Hari ini, Carlisle ngajak aku ketemu bentar pas istirahat.
"25 Desember, hari natal. Tungguin aja, aku mau bunuh diri."
Bunuh diri katanya? Aku tersenyum miring. Bagaimana bisa dia ngasal ngomong kayak gitu?
"Jangan dong," ucapku. "Mendingan natalan di rumahku, yuk?"
"Aku atheis, Bodoh," jawabnya dan berlalu begitu saja.
Aku sedikit merasa cemas. Dia itu nggak terduga. Rasanya aneh bayangin ada anak di kelas yang ilang satu, apalagi bundir.
Bayangin doang bikin takut.
• • •
"Halo?" tanyaku dipanggilan telepon buat mastiin cowok blonde itu udah kesambung sama panggilannya.
"Kenapa? Cepet."
"Soal tanggal natal ... kamu itu bercanda, kan? Nggak serius, kan?"
Carlisle terkekeh. "Menurutmu?"
"Nggak tau," jawabku. "Nggak mungkin."
"Kenapa nggak mungkin?" nada Carlisle naik satu oktaf. "Apa menurutmu aku nggak cukup menderita disini?"
"Ya, nggak gitu juga," jawabku cepat. "Jangan pergi, kan ada aku."
Jujur, aku mau muntah sekarang.
"Kita baru kenal, Ursa Theresia," jawab Carlisle dan memutus sambungan.
Lagi-lagi, skakmat.
Tapi seenggaknya sih, cowok aneh itu udah kenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
chance // hrj ✔️
Conto' "I'm sorry. For not taking the last chance." cover: nicola samori, 1977