LXIV. G

1.1K 54 1
                                    

Airene masuk ke dalam kamar Farren bersama Revan, saat dia masuk di sana sudah terlihat Felicia dan Farren yang sedang terbaring di kasurnya tapi sebelum masuk ia sudah mengirimkan pesan untuk Fero bahwa sang kakak sedang sakit.

"Gimana kabar lo?" tanya Airene singkat.

"Ck. Elah dek dek gue kan kangen sama elo, sini deket dong gue pingin peluk." ucap Farren.

"Lo bisa ke penthouse." balas Airene singkat.

"Gue kesepian Ren, Fero kan lagi kemah udah seminggu." ucap Farren.

"Lo sakit apa?"

"Asam lambung gue kumat."

Airene mengangguk, ia tahu Farren berbohong karena cowok itu tidak memiliki sama sekali riwayat penyakit lambung dan ini semua hanya akalan laki-laki itu dan mamanya. "Ada lagi? Gue harus segera pulang." tanya Airene.

"Kamu enggak usah balik ke penthouse di sini aja temeni kakak kamu." jawab Felicia.

"Maaf saya tidak bisa, lagi pula di sini ada mama yang bisa menemani kak Farren." balas Airene berusaha untuk tidak berbicara kasar.

Lagi. Airene selalu menolak tawaran Felicia untuk tinggal di rumah dan itu berhasil memancing kekesalan Felicia kembali. "Kenapa kamu nggak mau tinggal di rumah sih Ren." tanya Felicia menaikkan sedikit nada bicaranya.

Revan melotot terkejut apalagi Airene yang terkejut karena Felicia tiba-tiba berteriak tapi ia berhasil menutupi keterkejutannya. "Kenapa sekarang mama selalu meminta saya pulang dan tinggal, ke mana dulu mama saat saya masih di rumah ini." ucap Airene yang membuat Felicia tidak bisa berkata-kata.

"Kalau mama tanya kenapa saya tidak ingin lagi tinggal di rumah ini, itu karena saya lebih memilih tinggal sendiri tanpa kalian seperti dulu." tambah Airene.

Revan sudah maju di samping Airene membantu cewek itu menenangkan diri karena saat ini tidak ada kehadiran Fero yang menjadi pawang bagi Airene.

"Ya. Kenapa Ren? Apa alesan kamu?" tanya Felicia ingin tahu.

"Karena dari dulu juga kalian tidak pernah menganggap kehadiran saya bukan? Dan kenapa sekarang kalian selalu meneriaki saya untuk pulang. Tidak bisakah seperti dulu hanya nama saya yang ada di dalam kartu keluarga keluarga ini tapi tidak dengan kehadiran saya di rumah ini." jawab Airene dadanya naik turun sejalan dengan nafasnya yang memburu.

Emosi Airene sekarang sedang bergejolak hebat, jika tidak ada Revan yang membantunya untuk menenangkan diri dia tidak akan mampu menahan ini semua.

"Kamu..." ucap Felicia tergagap.

"Ya, saya ingat dan asal mama tau, saya tidak pernah amnesia. Alex yang merencanakan ini semua karena dia tahu seberapa hancurnya saya, dia membuat kebohongan ini agar kalian tidak menganggu saya dan membiarkan saya untuk sendiri." ucap Airene.

"Tenang Ren," ucap Revan sambil mengusap bahu Airene memberi cewek itu ketenangan.

"Saya dari kecil sudah terbiasa tanpa kehadiran kalian jadi tolonglah seperti itu dan jangan terlalu mengkhawatirkan hidup saya." ucap Airene lagi.

"Dan tolong ingat ini. Kalian tidak pernah menganggap saya ada dari dulu, saya ada dan tinggal di rumah ini hanya sebagai pengganti. Harusnya kalian mengingat hal itu baik-baik." tambah Airene lalu cewek itu berbalik ingin pergi tapi sebelum itu. "Gue tau elo cuma pura-pura. Semoga cepet sembuh dan sehat selalu brother." ucap Airene datar melihat ke arah Farren setelah itu pergi disusul Revan.

Motor hitam sudah melaju meninggalkan rumah itu, mereka sekarang sudah dalam perjalanan pulang karena Airene yang meminta.

Revan mengusap tangan Airene yang melingkar di perutnya memberi cewek itu ketenangan. 10 menit berlalu dan mereka sudah sampai, sekarang keduanya sudah berada di dalam penthouse.

"Keluarin aja Ren kalau memang udah nggak bisa ditahan." ucap Revan, ia sedang mengusap tangan Airene lembut.

Airene diam, tangannya yang satu terangkat memukuli dadanya yang begitu sesak. Ini terlalu sesak, tidak seperti biasanya dan itu membuat Airene sedikit kencang memukuli dadanya.

Revan menangkap tangan Airene. "Jangan sakiti diri kamu Ren. Pukul aku aja kalau kamu enggak bisa nahannya."

"Kamu keluarin semuanya Ren kalau memang sakit." tambah Revan sedih melihat ekspresi Airene yang seperti itu.

Tes

Sebutir air mata jatuh.

"Kamu bebas nangis di bahu aku Ren kalau memang kamu mau." ucap Revan mengusap punggung Airene kembali menenangkan cewek itu.

Airene sudah tidak bisa menahanya lagi. Maafin gue, gue kalah.

Tidak ada suara, hanya tetesan air mata yang terus mengalir membuat Revan yang melihat merasa perih. Keduanya tidak sadar ketika seseorang masuk.

"Ren, kamu kenapa nangis?" tanya Fero yang baru masuk terkejut, cowok itu langsung menjatuhkan tas besarnya segera menghampiri Airene dan memeluk sang adik.

Airene yang dipeluk Fero dengan erat mengeluarkan suara tangisnya yang membuat siapa saja yang mendengar ikut merasakan sakit dari cewek itu.

"Shhh tenang Ren, ada gue. Elo nggak sendirian lagi oke? Ada Revan juga yang selalu ada buat elo." ucap Fero menenangkan sang adik dengan mengusap punggungnya.

"Mereka selalu meneriaki gue untuk pulang." racau Airene dalam tangisnya.

"Shhhh." tenang Fero.

"Mereka lupa udah pernah buang gue dan sekarang dengan seenaknya ambil gue kembali saat mereka butuh." ucap Airene yang masih meracau dalam tangisnya.

"Sekalipun gue enggak pernah ngerasain kasih sayang mereka dalam hidup gue kalau pun itu terjadi karena terpaksa dan palsu." ucap cewek itu lagi.

"Apa sih salah gue. Gue mau nanyak sama lo kak, apa salah gue sama mereka? Gue pernah buat apa sampai mereka segininya sama gue." ucap Airene lagi.

Fero mengeratkan pelukannya kepada Airene, air matanya ikut menetes. Sekarang ia tahu seberapa hancurnya sang adik saat ini. "Shhhh adik gue enggak salah jadi lo nggak boleh nangis kayak gini. Lo udah janji untuk jadi cewek kuat di depan siapapun Ren, kecuali gue. Gue tahu hancurnya elo kayak gimana." ucap Fero melepaskan pelukannya sambil menghapus air mata sang adik yang masih saja mengalir.

Revan yang masih duduk di samping Airene mengusap punggung cewek itu lembut. "Apa yang kak Fero bilang bener Ren, kamu cewek kuat tapi kamu bebas nangis di depan aku. Ren, nangis bukan berarti kamu lemah itu hanya perantara untuk kamu melepasnya." ucap Revan lembut mengambil tangan Airene lalu mengusapnya.

"Aku di sini ada buat kamu bahagia, aku enggak akan nambah luka itu lagi Ren. Aku janji." tambah Revan lagi masih mengusap tangan Airene.

Fero beranjak dari duduknya. "Gue titip Airene bentar ya." ucap Fero bangkit dari duduknya sambil membawa ponsel silver miliknya. Cowok itu baru saja mengirimkan pesan kepada seseorang untuk datang ke rumahnya sekarang juga dan ia juga mengirimkan pesan kepada Devan untuk menjemputnya.

°°°

See you next part 👋

Self FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang