02

15 4 0
                                    

Anneke menutup pintu rumahnya. Ia menyibak gorden rumah untuk melihat apakah Edgar sudah pergi. Anneke tidak  melihat Edgar, itu tandanya dia sudah pergi.

Anneke menghela nafasnya. Pikiran kembali saat pertemuannya dengan pria bertubuh tegap itu. Untuk pertama kalinya ia merasa nyaman didekat laki-laki selain ayahnya.

"Apasih yang kupikirkan."

Anneke menutup kembali garden rumahnya dan berjalan menuju dapur untuk menyiapkan makan malam. Hari ini ia membawa rendang untuk ia makan bersama ayah dan adiknya.

"Ayah dimana ya" pikirnya.

Anneke berjalan menuju kamar sang ayah. Ia mengintip sedikit. Ayahnya lagi-lagi memandang sebuah foto yang membuat hati Anneke terenyuh.

"Ayah? ayah lagi apa?" Anneke menghampiri ayahnya. Damar buru-buru memasukkan foto tersebut ke dalam laci.

"Ann, kamu sudah pulang ternyata."

"Iya yah, baru aja. Tadi Ann nggak lihat ayah duduk di teras," Anneke mengelus pelan lengan Damar yang sudah tidak mulus lagi. "Ayah lihat foto itu lagi?"

"Ayah rindu sama ibumu juga adikmu." Sorot mata Damar nampak sedih."

"Aku juga rindu sama ibu, yah. Ibu memang udah nggak ada, tapi ibu selalu ada di hati kita" ucap Anneke menguatkan ayahnya.

"Ann, maafin ayah, harusnya ayah yang kerja bukan kamu. Harusnya ayah yang cari nafkah untuk kamu sama adekmu. Kamu juga bisa melanjutkan pendidikanmu hingga sarjana, bukan sebatas SMA saja."

"Kan kan.. ayah ngomong gitu lagi. Aku nggak suka ayah nyalahin diri ayah. Semua ini sudah takdir Allah. Allah yang sudah menentukan semua. Bahkan ibu juga Alif pergi pun karena takdir Allah bukan karena ayah."

"Tap Ann, ayah tetap merasa bersalah..." ucap Damar lirih.

Anneke ingin menangis tapi ia tahan. Ia tidak mau terlihat rapuh di depan ayahnya.

"Ayah itu ayah yang terbaik yang aku sama Aira miliki. Nah sekarang kita makan malam, aku udah bawain pesanan ayah. Rendang spesial." Anneke mendorong kursi roda yang diduduki Damar menuju meja makan.

"Makasih Ann, ayah juga bangga punya kamu sama Aira." Damar mengusap pelan tangan anak sulungnya.

"Ayah tunggu disini dulu biar aku yang panggil Aira."

Annek mengetuk pintu kamar adiknya. "Aira, buka pintunya. Teteh udah bawain rendang kesukaanmu."

Hening.

"Aira, Teteh buka ya pintunya." Anneke membuka pintu lalu mendapati adik bungsunya tengah tertidur dilantai. Tampak beberapa buku pelajarannya tergeletak tak beraturan. Anneke tersenyum tipis. Pasti adiknya kecapean.

"Aira, bangun dek. Teteh bawain rendang kesukaan kamu." Anneke menepuk pelan tubuh Aira. Bocah 10 tahun itu menggeliat.

"Teteh udah pulang?" Aira mengucek matanya.
"Iya Teteh udah pulang. Kita makan yuk, Teteh udah bawain rendang kesukaan Aira."

"Yang benar Teh? Asyikk.." Aira bangkit lalu menyeret Anneke keluar. Aira cuma geleng-geleng melihat tingkah lucu adiknya.

Love And DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang