Prolog

41 7 1
                                    

Warna Hitam menari kesana kemari dengan darah merah para monster buas. Dia —sang protagonist— maju tanpa berkata sepatah kata, sendirian di sebuah reruntuhan. Dia terus menerobos ke dalam runtuhan yang begitu gelap. Rambut birunya yang gelap mengikuti angin yang tertiup di sekitarnya.

Hawa dingin yang keluar... Tidak...

Ini sudah tidak bisa disebut sebagai hawa dingin lagi.

Perasaan ini bahkan lebih dingin dibanding es.

Kalau dia sudah sangat serius, sebuah gunung pun bisa diruntuhkannya seorang diri. Tapi dia tidak mau melakukan sesuatu yang tidak perlu.

Laki-laki ini terus berlari, hingga seseorang dengan zirah ungu menghalanginya.

"Kau berhasil sampai disini ya? Hebat juga," ejeknya dengan nada sombong.

Terlihat senyum sinis dari wajah orang berzirah itu, kedua belah pihak tidak terlalu bisa melihat masing-masing karena keadaan reruntuhan itu yang selalu berawan.

Mata merah dari pria berambut biru itu menyala dan menyorot tajam ke arah orang berzirah itu. Dia menodongkan pedang hitamnya yang masih berlumuran darah dengan satu tangan. Lalu tersenyum balik seraya memperlihatkan wajahnya yang berlumuran bercak darah. Rambutnya kembali terurai oleh angin yang berhembus dan mantel biru tuanya berkibar. Tapi, hanya terlihat seperti siluet hitam karena gelapnya tempat itu.

"Ya, dan kau sangat nekat sampai berani menghalangi jalanku," jawabnya akhirnya.

"Oh begitukah?" kekeh orang berzirah. "Kalau begitu biar kulihat langsung kekuatan dari Dewa Kematian dari Kegelapan."

Dia benar-benar merasa mapan dengan keahliannya yang sekarang tanpa tahu betul maksud dari gelar mengerikan itu.

"Kau akan menyesal karena telah berkata begitu."

Ya, Dewa Kematian dari Kegelapan, itu hanya gelarnya saja. Gelar itu diperoleh setelah insiden yang cukup memakan trauma di masa lalunya. Intinya, jangan pernah meremahkan gelar yang menyandang dewa kematian itu sendiri.

Orang berzirah itu mencabut pedangnya yang disarungkan pada pinggang kirinya sambil perlahan berjalan mendekat kearah sang Dewa Kematian.

"Sudah kuputuskan, akan kusingkirkan orang ini tanpa basa-basi. Lagipula waktuku terbatas," ujar sang Dewa Kematian dalam hati.

Orang berzirah itu menerpa ke depan, membuat lawannya menghindar, tapi memang itu lah yang dia inginkan. Dia hentakan kaki kirinya sebagai tumpu dan merubah haluan untuk menyerang Dewa Kematian dari belakang.

Ayunan pedangnya ditangkis oleh pedang sang Dewa Kematian yang sudah menebak pergerakan musuhnya.

Klang!!!

Suara dentingan logam nyaring terdengar sangat keras.

"Menerpa lalu menyerang dari titik buta... Serangan klasik yang mudah dibaca," desah Dewa Kematian merasa dirinya diremehkan.

Orang berzirah itu tidak basa-basi dan mendorong pedang Dewa Kematian menjauh, lalu kembali melanjutkan serangan berikutnya, lagi dan lagi dan lagi.

Begitu orang berzirah itu lengah, Dewa Kematian tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan menebas celah pada zirah di pundak kanan musuhnya. Serangan yang cukup telak itu memutus jaringan ototnya dan membuatnya tidak bisa menggerakan lengan kanannya. Secara serentak, orang berzirah itu melepas senjatanya dan mundur kesakitan. Darah pun mulai merembes pada bagian yang teriris.

"Hentikan main-mainnya!! Aku tidak punya banyak waktu lagi,"Bentak Dewa Kematian, wajahnya benar-benar kesal. Tak lama, dia berbalik dan melanjutkan perjalanannya kedalam reruntuhan, tetapi orang itu memanggilnya.

Lithos Siete: Origin「Light Dark」//delayed until revision//Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang