Chapter 1. Ingatan dan Rumah Kayu《part 1》

23 6 2
                                    

Tiga tahun yang lalu...

Matanya perlahan terbuka, penglihatannya masih kabur. Dia merasa sesuatu menyelimutinya dan tubuhnya terasa berat untuk bangun tapi dia berusaha untuk duduk. Begitu duduk, kepalanya menjadi pening lalu disandarkan keningnya dengan tangan kanan. penglihatannya pun perlahan membaik dan dia mulai bisa melihat dengan baik.

Suara berdecit pintu terdengar dari sebelah kiri. seorang pemuda membawa bahan-bahan herbal di atas nampan, sang tuan rumah. Dia terlihat cukup terkejut melihat tamunya telah siuman.
Dengan semangat dia berkata, "Yo, sudah sadar rupanya, bagaimana keadaanmu?"

"Apa yang terjadi? Dimana aku? Dan siapa kau?" tanyannya dengan kebingungan tapi dia tampak tidak ragu-ragu.

"Oh iya maaf, aku lupa memperkenalkan diri," ujar Tuan rumah itu sambil mengusap kepalanya. Dia menaruh nampan itu di meja di sebelah ranjang yang diduduki tamunya. Setelah itu dia melanjutkan lalu mengulurkan tangan, "Namaku Kenza, panggil saja seperti itu, salam kenal."

Tamunya menjabat tangan Kenza, tapi dia tidak membalas apa-apa. Kenza masih berpikiran kalau dia masih grogi atau trauma. Jadi dia melanjutkan.

"Kau kutemukan tertimpa bebatauan dan serpihan bangunan saat aku sedang berburu sehari yang lalu, aku tadinya mengira kau sudah mati karena lukamu cukup parah, tapi aku merasa kalau kau itu masih hidup. Jadi aku membawamu pulang ke rumahku dan kuobati dengan bahan herbal seadanya. Aku lumayan terkejut kau bisa sembuh secepat ini dengan luka separah itu."

Selagi Kenza menjelaskan, dia melihat perban yang melilit sekujur tubuhnya. Ternyata memang ada rasa sakit yang terasa dari beberapa bagian badannya.
"Ah... Begitu ya, maaf," balasnya dengan muka tertunduk.

"Tidak apa-apa," kata Kenza malu sambil melambaikan tangan. "Membantu yang membutuhkan memang sudah menjadi kewajiban setiap orang. Lalu, siapa namamu jika aku boleh bertanya?"

"Aku tidak ingat, semuanya, ingatanku buyar, aku... Tidak ingat siapa diriku," jawabnya dengan nada murung. Kenza baru menyadari kalau mata orang itu telah berkaca-kaca.

Dengan cepat Kenza membalas, "M-maaf... Aku..."

"T-tidak apa-apa," selanya sambil mengusap kedua mata yang mulai basah. "Ini bukan salah siapa-siapa. Mungkin ini karena kecelakaan yang kualami."

Kenza berusaha untuk menghiburnya dengan cepat dan berusaha membelokan topik, "Hmm... Hey, bagaimana jika sampai kau mengingat semuanya, biar kuberi nama?"

"Tidak buruk juga, baiklah."

Kenza memejamkan mata dan menaruh tangannya di dagu, sambil memikirkan sebuah nama. Selagi memikirkan dia bergumam, "Terita? Andari... Baraman? Hmm... Reza... Katenshi... Ahh...!!"

"Bagaimana dengan Aoshi?!" sambungnya. Dia menunjuk wajah orang yang baru saja dia beri nama itu dengan senyuman puas.

"Aoshi ya? Hmm... Boleh juga, kalau begitu salam kenal Kenza, aku Aoshi!" balas Aoshi sambil menyeringai.

Kenza ikut tersenyum lalu kembali mengambil nampannya dan meracik sesuatu. Sambil meracik dia berkata dengan nada masih kebingungan, "Jujur, aku lumayan kaget saat kau bilang tidak ingat apa apa, kau yakin tidak ingat sepercik apapun itu?"

"Yaaah, kira-kira begitu. Aku sudah mencoba untuk mengingat dari tadi, tapi apa daya semuanya kabur di dalam bayang-bayang."

Kenza menaruh nampannya di meja dan terlihat memegang sebuah botol kecil berisi suatu ramuan yang terlihat cukup menjijikan. Bahkan Aoshi tahu kalau ramuan itu terasa tidak sedap dari baunya. Hatinya merasa kalau dia harus menghindari meminumnya apapun yang terjadi.

Lithos Siete: Origin「Light Dark」//delayed until revision//Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang