Candu Kopi

456 53 10
                                    

2026

"Langit malam itu indah ya!"

"Tidak juga. Hanya gelap."

"Tapi aku suka. Damai. Terlebih ...."

"Terlebih apa?" dia menoleh padaku seperti ingin mengetahui apa yang akan aku katakan selanjutnya.

"Terlebih ketika aku bisa menatap langit dan bersanding disebelahmu, Bintang." suara hatiku yang melanjutkan.

"Terlebih kalau sambil makan coklat. Ehm ... aku jadi pengen. Beli yuk."

"Dasar!" telapak tangan itu lembut sekali saat membelai rambutku.

Namanya Bintang. Definisi untuk dia sama seperti bintang-bintang di langit pada umumnya. Indah sekali saat kita menatapnya. Cahaya terang yang memenuhi gelapnya langit malam. Tidak salah aku jatuh hati padanya.

Namaku Viona. Selain suka menatap langit dan bintangnya aku juga suka sekali menulis. Menuliskan tentang kamu. Iya kamu. Siapa lagi kalau bukan kamu Bintang. Yang membuat aku berkelana dengan berbagai rasa. Rasa rindu kala kita jarang bertemu, rasa takut kehilangan, rasa yang aku miliki bahkan rasa yang kau miliki membuatku risau setiap kali memikirkannya. Apakah rasa itu jatuh padaku? Atau telah jatuh pada hati yang lain? Ah ... otakku harus berpikir keras untuk itu. Membuatku gila.

Aku dan Bintang hanya bersahabat. Ingat! BER-SA-HA-BAT. Sebentar! Aku ingin mengganti kata "hanya" menjadi "masih". Aku dan Bintang masih bersahabat. Kata masih disini mewakili bahwa ada kemungkinan nantinya aku dan Bintang tidak lagi bersahabat melainkan menjadi pasangan kekasih. Itulah doa yang terus aku amini sampai sekarang.

"Vi! Kau dimana?" diseberang telfonpun suaranya begitu meneduhkan.

"Aku disini."

"Hei dimana aku serius. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu."

"Apa? Katakan saja! Aku pasti mendengarnya."

"Tidak bisa lewat telfon. Harus bertemu!"

"Bilang saja kau rindu."

"Hegh ...." tidak terdengar suara selain dengusan nafas.

"Tidak-tidak aku bercanda. Baiklah mau bertemu dimana?"

Bintang itu sulit ditebak. Apapun yang dia katakan menimbulkan banyak pertanyaan. Seperti apa yang barusan dia katakan. Dia ingin mengatakan sesuatu padaku. Sesuatu apa itu? Soal apa? Mungkinkah perasaanmu? Aku tak sabar ingin mendengarnya.

Ditanah lapang itu aku sering mengajaknya menatap bintang di langit malam. Tempat yang sepi. Hamparan rumput memenuhi setiap sudutnya. Hanya setinggi 2-3 cm saja sehingga nyaman untuk diduduki. Angin yang berhembus memaksa rambutku yang tergerai bergerak-gerak membuat berantakan.

"Aku tidak paham dengan perasaanku ini."

"Perasaan yang bagaimana?"

"Nyaman." aku itu pelupa, namun perihal senyummu seperti ini mana pernah luput dari ingatanku.

Berdua kita duduk dihamparan rerumputan itu. Angin yang berhembus malam ini cukup kencang, namun tidak begitu dingin karena kehadiran Bintang disebelahku menghangatkan. Dan apakah ini yang dimaksudkan Bintang dengan nyaman?

"Nyaman yang bagaimana?"

"Bahagia."

"Perlu aku bertanya bahagia yang bagaimana?" mengalihkan pandangan dari langit untuk menatapku. Sungging bibir itu. Apa maksudnya?

"Jangan bertele-tele, aku tidak suka. Katakan saja!" mungkin sedikit ketus. Karena aku tak sabar menunggu kelanjutan ucapannya.

"Tidak tahu sejak kapan perasaan ini ada." arah pembicaraan Bintang sulit ditebak. Sikapnya yang sedari tadi senyum-senyum sendiri membuatku curiga.

Cerita Tentang Langit Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang