Asumsi

65 17 0
                                    

Bintang POV

"Bisa ke rumah sakit?"

"Apa dia sudah siuman, Kak?"

"Belum, hanya saja sedari tadi dia terus menyebut namamu lagi."

"Baiklah aku akan segera kesana."

"Terimakasih ya, hati-hati dijalan!"

"Iya." dengan perasaan yang tidak karuan aku mengakhiri panggilan itu.

Menghela nafas kasar sebelum akhirnya aku bangkit dari ranjang. Kemudian mencari dimana letak kunci mobil. Aku ingat semalam sepulang dari rumah sakit aku letakkan kunci itu di gantungan dekat kamar Ibu.

"Kamu akan pergi kemana?" suara Ibu yang tiba-tiba keluar dari kamar cukup mengejutkanku.

"Harus ke rumah sakit lagi."
Mendengar jawabanku spontan Ibu menggoyang-goyangkan kedua bahuku.

"Dia sudah siuman? Ibu akan ikut kesana ya?"

"Tidak usah, Ibu di rumah saja!"
Ibu melepaskan kedua tangannya dari bahuku.

"Ibu ingin memastikan dia baik-baik saja. Kamu tahu, Ibu benar-benar khawatir. Jadi tunggu sebentar saja Ibu akan berkemas." ucapnya seraya kembali masuk kamar.

"Aku tunggu di mobil, bu." kataku lalu berjalan keluar rumah.

Hari kesepuluh dimana dia masih terbaring di ranjang rumah sakit. Sesuatu yang sejauh ini tidak pernah aku sadari, mendadak terkuak dan membuatku tidak bisa mengarti. Kapan dia akan sadar? Kapan aku bisa menanyakan yang sesungguhnya? Aku harap masih ada kesempatan.

Lamunanku buyar ketika melihat Ibu keluar dari rumah dan mengunci pintu.

Aku rasa ibuku lebih menyukaimu.

"Kira-kira disana ada siapa saja?" tanya Ibu.

"Entahlah, tadi aku tidak tanya."

"Ayah dan kakaknya mungkin ya."
Aku hanya mengangguk mengiyakan ucapan Ibu.

"Hari itu pasti dia mengalami benturan kepala yang sangat keras. Hegh ... Ibu tidak bisa membayangkan seberapa rasa sakitnya."

Beberapa saat kami sama-sama terdiam. Ibu lebih sering memejamkan matanya, sedangkan aku sibuk mengemudi dengan pikiran yang menggerayang entah kemana.

"Aku khawatir, bu." ucapku lirih.

Seketika Ibu menoleh, kemudian menyentuh tangan kiriku yang ada dipangkuan paha.

"Ibu juga khawatir. Percayalah dia pasti akan lekas sadar. Sekarang kamu tahu yang sesungguhnya kan, jadi Ibu ingin kamu mengambil keputusan sesuai dengan apa yang kamu anggap sebagai kebahagiaan,"

"Bukan berarti Ibu tidak merestuimu, apa yang kamu rencanakan sudah berjalan sejauh ini, namun itu belum menjadi keputusan yang akhir. Ikuti apa kata hatimu, Ibu tidak akan ikut campur perihal itu. Selagi baik untuk anak Ibu, Ibu pasti akan mendukung."

Bergantian tangan kiriku yang menggenggam erat tangan Ibu.

Masalah hati adalah hal yang paling serius. Terlebih ini menyangkut dengan masa yang akan datang. Kebahagiaan itu akan ada ketika apa yang kita jadikan pilihan adalah sesuatu yang tepat, yaitu sesuatu yang sejauh ini kita harapkan, sesuatu yang selama ini kita selalu panjatkan doa untuk menjadikannya nyata.

Aku heran, kenapa tidak sedari dulu aku mengetahuinya. Kenapa sebodoh ini sampai aku tidak pernah menyadarinya. Padahal kami selalu bersama, hampir setiap saat adalah waktu kami.

Aku tidak tahu apa aku pernah menyakitimu, maaf jika itu benar terjadi. Sebab kau tak tahu pula bagaimana dengan aku yang sesungguhnya.

Di depan ruang ICU aku melihat Kak Vina duduk seorang diri. Lantas siapa yang menunggu didalam?

Cerita Tentang Langit Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang