Menjamah Lautan

103 28 5
                                    

Pada langit malam aku sering mengadu, menyampaikan segala keluh kesah, mengutarakan semua yang tersimpan dalam hati. Tak ada yang tersisa, semua telah terkuak pada langit malam. Hingga ketika paginya tiba, tak ada lagi beban dalam hati. Melangkah menjalani hari yang lebih baik dari pada hari sebelumnya.

Tetap pada hati yang sama. Yang terkuak pada langit malam hanyalah rasa-rasa yang membuat hati tidak percaya diri, seperti rasa gelisah, rasa sakit berlebihan, rasa benci dan rasa buruk yang lainnya. Aku hanya tidak ingin hatiku menyimpan banyak rasa. Membuatku justru tidak karuan, ditambah lagi dengan banyaknya pemikiran. Terlebih ketika pemikiran tak sejalan dengan hati, semuanya akan tampak lebih runyam.

Aku pikir tak ada pilihan lain, selain mengadu pada langit malam yang aku rasa Tuhan ada disana mendengarkan.
Tuhan aku percaya Engkau ada, aku percaya Engkau akan memberi keadilan disetiap takdir manusia yang telah Engkau tetapkan. Tuhan pastilah memberi petunjuk untuk tepatnya sebuah pilihan. Tuhan pula memberikan jawaban atas segala pertanyaan. Siapa pemilik hati itu yang sebenarnya? Mungkinkah aku? Namun kenapa saat ini dia menjadi milik orang lain? Aku percaya Tuhan ... pasti Engkau akan kembalikan apa yang semestinya menjadi milik kita. Tapi kapan? Berapa lama lagi aku perlu menanti?

Sudah aku duga hari ini Bintang menemuiku. Ada apa dia sampai menjemputku ditempat kerja. Sama sekali tidak seperti biasanya. Dari lantai dua ruanganku bekerja terlihat mobil Bintang terparkir dibawah sana. Tidak lama kemudian ponselku kembali berdering.

"Aku sudah didepan."

"Aku segera turun. Tunggu sebentar saja."

"Baiklah."

Bergegas mengemasi barang-barang, sebentar merapikan meja kemudian berjalan menuruni anak tangga. Keluar dari kantor dengan perasaan yang penasaran. Bintang bersandar dibagian depan mobilnya. Terlihat lebih ceria.

"Hei." sapanya. Aku hanya melambaikan tangan.

"Ada apa? Tumben."

"Aku ingin jalan-jalan saja. Kebetulan cafe tutup sedari pagi tadi. Dan aku bosan di rumah."

"Dan kau tidak akan mengantarkanku pulang terlebih dahulu?"

"Iya ... aku antar kau pulang dulu. Baumu seperti terasi. Kau perlu mandi." katanya sambil menutup hidung berlagak seolah mencium bau.

"Tubuhmu yang bau terasi."

"Baru mandi kok."

"Masih bau." aku menutup hidung sambil berjalan membuka pintu mobil.

"Dasar!"
Terkadang apa yang aku firasatkan buruk itu tidak benar. Justru terjadi berbanding terbalik. Begitupun sebaliknya, ketika aku berfirasat baik, kejadian tak sebaik yang aku firasatkan, justru lebih buruk dari yang tak ku bayangkan. Begitulah, karena hidup adalah kejutan.

Ketika Bintang menghubungiku siang tadi, aku pikir sesuatu buruk tengah terjadi. Ternyata salah, dia justru datang dengan wajah yang ceria disore hari ini. Tak memperlihatkan kemungkinan buruk sama sekali. Aku penasaran dengan apa yang sedang Bintang sembunyikan dariku. Dia tidak seperti biasanya. Bahkan sekarang ini dia asik bercengkerama dengan Ayah. Itu hal yang sangat jarang dia lakukan. Biasanya dia beralasan membeli sesuatu sembari menantiku selesai mempersiapkan diri untuk diajaknya pergi. Namun kali ini lain.

"Tante kok sembunyi disini?" Alfa mengagetkanku yang sedang menguping pembicaraan Ayah dengan Bintang.

"Huss ...." aku segera menaiki anak tangga menuju kamar. Alfa berjalan mendekati Ayah diruang tamu. Aku terdiam dianak tangga kelima. Suara Alfa terdengar mengatakan sesuatu.

"Kakek-kakek, tadi Tante Ola sembunyi disitu."

"Aduh ...!" dengusku.

"Mana? Tidak ada. Alfa berbohong ya sama kakek?" untung saja Ayah tidak percaya.

Cerita Tentang Langit Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang