Tenggat Waktu

72 20 3
                                    

2027

Hari ini lembaran baru telah dibuka, namun lembaran lama yang telah usang tidak perlu dibuang. Simpan saja sebagai kenangan yang kelak akan kita tengok kembali. Manusia pelupa, maka dari itu kita perlu menyimpan kenanagan. Saat itulah kita akan menertawakan apa yang pernah kita lakukan pada masanya. Sesuatu yang mungkin amat memalukan. Dan bisa jadi pula kita menyayangkan apa yang tidak kita lakukan.

Ketika mentari mulai menyembul dari balik lautan kami semua telah terbangun, berkemas untuk pulang. Seharusnya kami akan melanjutkan mendaki gunung yang sempat tertunda kemarin. Akan tetapi, mendadak Edel harus segera pulang atas pekerjaan yang telah menantinya. Begitu juga dengan Alam. Dan tidak mungkin jika hanya aku dan Ranu yang pergi mendaki. Alam pasti tidak mengizinkan.

Aku tidak keberatan dengan apapun keputusannya. Justru Alam yang sedikit menyesal karena tidak bisa melanjutkan perjalanan. Padahal dia telah memanage waktu dengan sebaik-baiknya, memang karena mendadak jadi mau bagaimana lagi.

Sore hari, akhirnya aku bisa membaringkan tubuhku yang lelah diatas ranjang. Menatap langit-langit kamar dan berusaha memejamkan mata.

Baru beberapa menit ketika nyawaku mulai melayang-layang akan benar-benar tidur, getaran ponsel digenggaman tangan begitu mengejutkan. Tanganku berusaha mengangkat ponsel tepat didepan muka, mataku berusaha membuka dan membaca nama yang tertera dilayarnya. Samar-samar aku membaca tulisan Bintang. Seketika aku terperanjat dari posisi tidur menjadi duduk. Aku segera terima panggilan itu sebelum berakhir.

"Halo!" sapaku lembut.

Seseorang di seberang telfon menjawab dengan suara yang bergetar,

"Vi ...."

"Iya, apa?"

Tanpa pikir panjang segera aku berlari keluar kamar, mencari dimana Ayah meletakan kunci mobilnya. Setelah ku temukan, dengan rasa panik bercampur ketakutan aku melesatkan mobil membelah jalanan sore yang mulai padat, mengingat hari ini adalah tahun baru.

Tujuanku yaitu menuju rumah sakit umum dipusat kota. Beberapa lampu merah aku terjang begitu saja dengan membunyikan klakson berkali-kali. Hampir menabrak pengemudi lain jika aku tidak sigap menginjak rem.

Ada apa dengan tahun ini? Hari pertama kabar duka telah datang menghampiri. Seperseratus saja belum diinjak sempurna, keburukan sudah datang dengan menyedihkan.

Otakku tidak habis pikir kenapa Tuhan berbuat seperti ini. Kenapa harus terjadi hari ini. Bagaimana dengan Bintang? Apakah dia akan baik-baik saja?
Setiba di rumah sakit aku terus berlari mencari keberadaan Bintang. Aku tidak bisa membendung air mata sedari tadi. Otakku berkecamuk pemikiran mengenai lelaki yang kini aku lihat tengah duduk bersandar pada sebuah kursi dilorong rumah sakit. Langkahku terhenti ketika dia menengok ke arahku.

Matanya sembab, pipinya basah oleh air yang keluar dari pelupuk mata. Wajah pucat itu memperlihatkan luka yang mendalam. Rambut yang biasanya acak-acakan kali ini lebih dari itu. Perlahan aku mulai mendekati Bintang. Mataku pun tidak berhenti menangis, tanganku berusaha membungkam mulut menahan isak tangis.

Aku duduk disamping kirinya.

Aku juga pernah ditinggalkan oleh orang yang aku sayang. Saat itu usiaku masih kecil dan tak memahami apapun perihal ditinggalkan. Ibu pergi jauh, bahkan tak berpamitan. Semakin dewasa aku, semakin merindukan keberadaannya dan itu lebih terasa menyakitkan. Aku bisa merasakan apa yang kini Bintang rasakan. Otaknya tak akan mampu berpikir. Semua hilang, hanya menyisakan kesedihan.

Tidak ada pemikiran mencari kesempatan, kali ini aku peluk tubuhnya dan membenamkan kepalanya dibahukku. Dia butuh sejenak menyandarkan keluh kesah dibenaknya. Aku tidak keberatan jika bahuku akan basah oleh air matanya. Ini adalah kali pertama aku melihat Bintang dalam kondisi terpuruknya. Lelaki yang tengah menangisi kepergian seseorang yang sejauh usianya selalu ada.

Cerita Tentang Langit Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang