Pohon Randu

49 20 0
                                    

Bintang POV

Hari itu diluar dugaan. Bisa-bisanya dia mengatakan aku iri pada Alam. Awalnya memang aku tidak berpikiran sampai sejauh itu, namun saat setelah Viona mengatakan, seolah menjadi hal yang patut dipikirkan.

Tapi setelah aku pikir ulang ternyata itu tidaklah benar. Iri hanya membuatku semakin dendam. Cukup tidak menyukainya karena telah merubah Viona, tidak perlu hal lain lagi. Aku juga menyukai pekerjaan ini, selagi bisa menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan, apalagi yang perlu dikeluhkan.

Namun tetap saja rasa kecewa pada sahabatku yang satu itu tetap ada. Aku berusaha untuk bersikap biasa saja. Sudah dewasa, tidak perlu ada marah-marahan seperti anak muda. Katakanlah aku sudah memaafkan Viona.

Beberapa saat aku dan Viona tidak bertemu, bahkan obrolan via telepon pun juga tidak. Aku sengaja tidak menghubunginya sampai dia menghubungiku terlebih dahulu. Nyatanya dia juga tidak menghubungiku. Padahal aku menantikan ucapan maafnya. Ya, mungkin saja Viona enggan dan merasa bersalah sampai dia tidak berani mengatakan maaf. Paham betul bagaimana gadis itu.

Hari ini cafe sangat sepi. Aku duduk disalah satu bangku dengan menikmati secangkir kopi buatanku sendiri. Beberapa karyawan dijadwalkan untuk nanti malam. Sedangkan yang lain tidak masuk karena pergi liburan. Hanya ada aku dan Kiki yang sibuk dengan game dalam ponselnya.

Lantunan musik memenuhi setiap sudut ruangan, nada-nada menggantung di atap-atap bangunan. Semilir angin membawa aroma kopi berterbangan hingga tercium oleh hidung. Merangsang otak sampai sang pemilik otak menjadi kecanduan. Sesekali angin berbenturan dengan sendok, gelas bahkan juga cangkir yang menggantung menimbulkan irama yang nyaring.

Aku terdiam menikmati terpaan angin itu. Ada seutas angin yang membisikkan sesuatu di telingaku. Rindu, itulah yang tersampaikan. Rindu milik siapa sampai menyasar padaku. Tidak aku hiraukan, karena aku pikir itu hanya dalam halusinasi.

Ada yang datang. Sebuah mobil sedang mengambil posisi parkir yang tepat. Aku beranjak dari tempat duduk menuju dapur yang terbuka. Mempersiapkan buku menu yang akan diberikan pada seseorang dalam mobil itu.

Pengendaranya turun. Seorang gadis berkaca mata. Rambut hitam legam tergerai lima centi di bawah bahu. Berjalan memasuki cafe dengan ketukan teratur yang terdengar dari sepatunya. Cantik seperti seorang model. Kiki yang menyadari ada pengunjung segera bangkit dari aktivitas bermain game. Sepertinya aku dan Kiki menyadari bahwa pengunjung kali ini berbeda.

Tidak! Aku tidak salah lihat. Mataku masih sempurna dalam penglihatan. Namun, bagaimana mungkin hari ini terjadi. Dan ini nyata, bukan mimpi. Semakin dekat gadis itu semakin jelas sosoknya. Bayangan-bayangan lama memenuhi pikiranku. Terlintas satu, diikuti berikutnya.

"Aku tidak berjanji untuk kembali." kalimat itu terngiang dalam benak. Otakku berpikir cepat, mengingat raut wajah yang aku rasa sama.

Hari ini dia datang kembali. Gadis itu menatap ke arahku dan mata kami saling bertemu. Seolah mengatakan ketidakmungkinan. Tas yang tadinya dia bawa di depan tubuh, perlahan turun bersama pegangan tangannya.

Sepertinya gadis itu mulai menyadari dan mengambil dua langkah ke belakang lalu berbalik badan akan meninggalkan cafe ini. Aku yang menyadari itu segera keluar dari dapur untuk mengikutinya. Tidak sengaja aku menabrak Kiki yang tertegun diambang pintu dapur.

Seperti kembali pada saat malam puncak purnawiyata SMA. Menatap gadis itu berjalan pergi. Bedanya malam itu aku terdiam di tempat menyaksikan punggungnya yang semakin menghilang. Sedangkan kali ini aku berjalan mengikutinya.

"Tunggu!" ucapku namun tak jua menghentikan langkahnya.

Aku mempercepat langkah dan kami telah berada di luar cafe. Gadis itu akan masuk kembali ke mobilnya, namun dengan cekatan aku berhasil merengkuh lengannya. Aku menatap dia yang tak menatapku. Kami sama-sama terdiam.

Cerita Tentang Langit Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang