"Bagus, jam tujuh malam baru ingat rumah."
Giselle merutuk dalam hati. Padahal, ia sudah berusaha agar tidak menimbulkan suara dari langkah kakinya, tetapi sang ayah tetap melihat. Ia memutar bola mata, malas menanggapi pria di hadapannya. "Mau ingat rumah ataupun enggak, memangnya Papah peduli?"
Akibat ucapan itu, Giselle mendapat satu tamparan telak. Ia memandang sang ayah dengan sinis, membuat pria tersebut semakin mengepalkan jemarinya kuat, emosinya selalu memuncak setiap kali Giselle melawan.
"Jangan kurang ajar kamu jadi anak," peringatnya tegas.
"Kalau Papah anggap aku anak, nggak seharusnya Papah sekasar ini sama aku."
Tamparan kedua hendak melayang, beruntung seseorang segera datang, menghentikan kemurkaan yang bisa melukai wajah Giselle lebih parah. "Dia bukan samsak, Mas. Jangan karena kamu capek, terus bisa seenaknya jadiin anak kamu pelampiasan."
Pria itu menghempaskan cengkraman tangannya, mendengus kesal menatap Giselle, sebelum kemudian berbalik dan meninggalkan keduanya.
"Kamu nggak apa-apa, Gis? Mau Mamah obatin?"
"Nggak perlu. Aku udah terbiasa buat ngerasain ini semua." Giselle berlari menaiki tangga, menutup pintu kamarnya secara kasar, tak memedulikan segala perhatian yang berusaha ibunya kasih.
Giselle memang sering kali mendapat perlakuan keras dari sang ayah. Sejak kecil ia selalu dituntut untuk menjadi nomor satu. Awalnya, kecerdasan serta kemampuan yang Giselle miliki tidak perlu diragukan lagi. Namun, seiring memasuki usia remaja, ia mulai berontak. Giselle benar-benar tidak peduli sekali pun sang ayah akan membunuhnya jika ia kalah. Giselle hanya sudah cukup penat.
Semua nilai dari setiap mata pelajaran menurun drastis semenjak SMA ini, sebab Giselle sengaja aktif mengikuti kegiatan organisasi yang sekiranya bisa menyibukkan ia di luar rumah. Bahkan saat ini, Giselle menjabat sebagai ketua OSIS. Itulah yang menyebabkan ia mengurangi waktu belajarnya.
Hal itu tentu semakin memancing keegoisan sang ayah. Dia ingin Giselle menjadi peringkat pertama. Tak peduli bagaimanapun caranya, Giselle harus menuruti keinginannya. Dia tak sudi memiliki anak yang bodoh dan lebih mementingkan organisasi yang sama sekali tidak ada manfaat bagi dia.
Lebih sering Giselle melawan, maka lebih sering pula pukulan yang ia terima. Saking terbiasanya, Giselle tidak sampai merasa sakit akibat satu tamparan tadi. Ia akan mengabaikan pipinya yang memerah dan melupakan perdebatan yang sudah menjadi makanan sehari-hari itu.
***
"Selamat pagi, Giselle cantik."
Gadis itu tak dapat menyembunyikan lengkungan tipis dari sudut bibirnya yang terlihat salah tingkah begitu Jean datang, menghampiri Giselle dan dengan jahil langsung menautkan jemari mereka. Meskipun merasa tak nyaman sebab banyak diperhatikan oleh murid-murid lain, tetapi Giselle tetap diam saat Jean menggandengnya menuju koridor.
"Je, lepasin. Nggak enak diliat tau."
"Oh, iya. Hehe." Jean tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang putih, lantas melepas genggaman dari tangan Giselle begitu sudah tiba di depan kelas. "Pulangnya bareng gue, ya, Cantik. Selamat belajar."
Giselle hanya mampu menggelengkan kepalanya melihat tingkah random Jean pagi itu. Seakan sudah menjadi rutinitas bagi Jean untuk menunggu Giselle datang, lalu mengantarnya ke ruang kelas yang hanya terpisah dua jarak dari kelasnya sendiri.
Giselle berada di 11 IPA 1, sementara Jean di 11 IPA 3. Keduanya sudah dekat ketika dulu dipertemukan dalam satu kelompok masa orientasi. Perbedaan kelas tak menjadi masalah bagi mereka untuk tetap berteman.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEATH GAME ; Mirror Myth (00 LINE)
FanfictionStatus : END [040419-101020] Revisi : [050723-280723] Di satu sisi, Danu berniat memberi tahu tentang Jean yang tak sengaja membunuh Viola---sahabat mereka sekaligus orang yang dicintai Aksara---dan di sisi lain, Danu juga ingin membongkar apa yang...