"Sam!"
Lelaki itu menoleh, mendapati ketujuh remaja tengah berlari ke arahnya. Ia tersenyum sinis, melayangkan tatapan nyalangnya pada mereka semua. "Puas kalian?"
"Maksud lo apa?"
"Mario gimana, Sam?"
Sam tidak menjawab kedua pertanyaan itu. Ia malah pergi begitu saja, membuat Jean akhirnya menyentak dia sebelum menjauh dari mereka. "Lo tinggal bilang gimana keadaan Mario sekarang! Apa susahnya sih?!"
Sekadar melirik, Sam kemudian menjawab tanpa mau melihat ketujuh orang itu. "Orang tuanya sebentar lagi dateng, ambulans juga udah siap. Kalau kalian mau ikut, silahkan." Setelahnya, dia benar-benar pergi meninggalkan mereka yang kini hanya terpaku.
Belum sepenuhnya mereka mencerna setiap untaian kalimat yang keluar dari mulut Sam, ponsel tiba-tiba berdering, sedikit mengejutkan lamunan mereka.
Naya segera merogoh saku, mengambil ponsel miliknya dan segera mengangkat panggilan tersebut. Sesaat, ia membatu di tempat. Tak lama setelah itu, Naya menjatuhkan benda yang ia genggam, bersamaan dengan tubuhnya yang perlahan merosot.
"Nay!" Giselle yang berada tepat di sampingnya otomatis menahan gadis itu. "Lo kenapa, Nay?"
"I-ibu ... ibu gue ... nggak ada."
Mendengar itu, teman-temannya sontak menghampiri Naya yang kini duduk melemah pada lantai rumah sakit. Terkecuali Aksara, ia malah berbalik badan, menyembunyikan kesedihannya yang berusaha ia tahan.
Mereka baru kehilangan Mario dan langsung dilanjut dengan kabar duka dari keluarga salah satunya. Akhir pekan yang seharusnya dihabiskan dengan bahagia, malah terbendung oleh luka yang mendalam.
***
Perihal kehilangan, Alexa pernah merasakan itu beberapa kali selama umur hidupnya. Alasan mengapa ia sangat membenci rumah sakit adalah ini. Tempat yang harusnya menyembuhkan itu nyatanya hanya menunda kematian orang-orang terdekat Alexa.
Saat ia berusia lima tahun, ibunya sekarat ketika berjuang dalam melahirkan calon adiknya. Namun, keduanya sama-sama tak bisa diselamatkan. Alexa yang sudah sangat antusias menyambut sang adik itu, ternyata ujungnya hanya menyambut jenazah dua orang yang ia sayang.
Kemudian, beberapa tahun setelah itu, kakak laki-lakinya mengalami kecelakaan hebat. Ketika akan dilarikan ke rumah sakit, masih ada sedikit harapan baginya. Namun, lagi-lagi rumah sakit hanyalah sebagai alasan bagaimana ia harus merasakan kehilangan.
Begitu pula dengan kakek dan nenek Alexa yang saat itu sakit, tak lama setelah ditangani dokter, justru langsung menghembuskan napas terakhirnya.
Itulah kenapa Alexa membenci rumah sakit. Ia semakin dibuat benci ketika Mario juga dinyatakan tewas setelah beberapa hari menjalani perawatan. Rumah sakit tidak berguna. Begitulah Alexa menyebutnya.
Sebagai orang yang paling dekat dengan Mario, tak dapat dipungkiri kesedihannya benar-benar melekat di hati. Alexa ingin marah. Namun, siapa yang harus ia salahkan?
Dirinya?
Bagaimanapun juga, Mario sampai seperti ini juga demi menyelamatkan Alexa.
Gadis itu kemudian menjambak rambutnya kuat, melampiaskan amarah yang ia pendam. Alexa menangis keras, ia tak sanggup melihat prosesi pemakaman yang akan berlangsung tak lama lagi. Alexa tak memedulikan tatapan iba orang-orang di sekitarnya, ia sibuk terhanyut seorang diri.
Hingga akhirnya, Jean datang mendekat. Tanpa berkata apa pun, ia membawa tubuh Alexa pada dekapannya. Membiarkan gadis itu puas menumpahkan kesedihan yang bisa semua orang rasakan.
![](https://img.wattpad.com/cover/183474376-288-k691006.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DEATH GAME ; Mirror Myth (00 LINE)
FanficStatus : END [040419-101020] Revisi : [050723-280723] Di satu sisi, Danu berniat memberi tahu tentang Jean yang tak sengaja membunuh Viola---sahabat mereka sekaligus orang yang dicintai Aksara---dan di sisi lain, Danu juga ingin membongkar apa yang...