Mobil Kijang Inova warna merah itu penuh kecemasan. Kau masih saja meluaskan ketakutanmu. Belum mendengar Tante Yeni berkata saja kau sudah lemas bukan main.
"Ibumu dibawa ke RS Bokor." Suara itu terjeda lama. Tak ada yang bersuara lagi.
Sama seperti kata ibumu, kau tidak pernah kuat ketika orang tuamu sedang dalam masalah. Benar seperti kata ibumu, kau bisa menaklukkan semesta, tapi kau tak pernah mampu menaklukkan rasa takutmu.
Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah. Istigfarmu amat pelan sekali, tetapi setiap istigfar kau lantunkan, air matamu tak berhenti mengalir.
"Ibumu lemah sekali tadi. Awalnya dicek-kan ke RS. Tirta Medika, tapi dari sana langsung dirujuk ke Bokor."
Mendengar jawaban tante, air matamu keluar bukan main.Jelas, kau takut kehilangan.
"Ibumu butuh kamu. Kamu jangan sibuk-sibuk terus. Kamu gak nyadar setahun belakangan ini berat badan ibumu menurun drastis?" Kau tidak menjawab apa pun. Bahkan hanya untuk berkedip pun, tidak.
50 kilometer kemudian, mobil itu masuk ke sebuah halaman. Terparkir rapi di lintasan yang tersedia. Kau buru-buru turun dan menuju ke ruang UGD. Dari kejauhan, kau melihat ayah dan tante-tantemu.
Kau memeluk ayahmu. Erat sekali.
"Ibu?" Suaramu terdengar lirih. Bahkan kau tak menghiraukan semua mata yang melihat ke arahmu. Mungkin saja melihat kau ini aneh. Sudah SMA, sudah besar, masih nangis di depan orang banyak.
Ah entahlah, yang orang sukai darimu adalah kau benar-benar bebas melakukan apa pun tanpa memikirkan omongan negatif dari orang lain. Kau selalu melakukan yang terbaik selama ini. Kau tahu cara menciptakan "pandangan orang tentangmu". Tetapi kau rasa, semua itu tak kau butuhkan di sini.
"Ibu masih diperiksa dokter ya. Sabar."
Tante-tantemu segera memelukmu dan mengatakan hal-hal baik. Pikiranmu tak satu pun tertuju pada mereka. Malah semakin ingat akan ketakutanmu sendiri. Takut kehilangan. Ketakutan demi ketakutan menyelinap dalam hati. Tapi ketakutan itu tidak mencegah dokter Alif menyampaikan hasilnya."Mohon maaf, Bapak. Kami harus melakukan rongten terlebih dahulu. Tetapi hasilnya baru bisa diketahui besok. Besok biar dokter poli dalam saja yang langsung menjelaskan apa penyakit Ibu." Begitulah kata dr. Alif yang masih kau ingat.
Sambil menunggu ibu selesai rongten, ayahmu menyuruh pulang dulu. Om Arif mengantarmu mengambil baju-baju milik ayah dan ibu yang tak sempat dibawa tadi. Kau pun sebagai anak melakukannya. Sepanjang perjalanan, kau lebih banyak diam. Suara terdengar dari radio milik Om Arif. Lagu yang dibawakan Giselle - Hidup Ini Adalah Misteri seolah diciptakan hanya untukmu. Kau merenungi setiap kalimatnya. Hingga tak sadar air matamu berguguran lagi. Jatuh tanpa dibendung lagi. Kau tahu ini bukan film. Ya, memang ini bukan film. Ini adalah ceritamu sendiri, Wina.
***
Selepas turun dari mobil, kau segera membuka pintu dan berganti baju di kamar. "Tidak perlu terburu-buru," kata Om Arif. "Coba dicek lagi, sama sekalian periksa pintu belakang, jendela, sama jangan lupa kabari Kakek dan Nenek kalau ibu opname sementara." Timpal Om Arif.
Kau pun melakukan semua secara cepat dan tepat.
Setelah kau sudah siap, kau beralih ke kamar ibu untuk mengambilkan pakaian beliau. Membuka shaf kedua untuk mengambil pakaian panjang, mengambilnya empat sampai lima lalu menutup pintu lemari. Terakhir, lemari bagian bawa. Kau mencari sesuatu yang tadi diamanatkan oleh ayah. Tanganmu menjulur ke dalam, takut sesuatu yang kau cari terpendam. Hampir lama meraba-raba, tanganmu tak sengaja menyentuh sesuatu. Kau ragu-ragu, bingung dan lantas mengambilnya.
Sebuah note hitam.
Ny. Tiya

KAMU SEDANG MEMBACA
MENULISLAH KEMBALI
Teen FictionPermisi, Mbak, Mas, ada panggilan dari Tatib untuk Kak Wina, ini suratnya. Surat itu dipegang oleh Mira, temanmu yang duduk di sebelah pintu. Kawan-kawanmu yang lain sibuk membercandaimu. "Halah, Wina. Pasti itu rapat lagi. HUT lagi. OSIS lagi," beg...