CERITA 6

14 0 0
                                    

"Nduk... Nduk... Nduk..." kata yang membangunkanmu dari tidur malam itu. Matamu kian membuka perlahan. Menatap tembok putih secara remang-remang dan kini kau langsung berganti ke ibumu. Ibumu tiga kali memanggilmu. Ia sedang mengajakmu berbicara dengan dua butir air mata di pipinya.

"Ibu... Ibu kenapa?" Tanyamu

"Nduk, perut ibu sakit."

Kau terlihat panik sekali. Berdiri dan mendekat ke tubuh ibumu.

"Yang mana yang sakit, Bu? Biar aku kasih minyak kayu putih dan kupijati ya, Bu?"

"Iya, Nduk..."

Kau bergegas ke loker kamar dan mencari minyak kayu putih. Belum sempat menemukannya ternyata ibumu merintih lagi. Ya Allah... Kuatkan ibu. Hanya itu yang berulang kali kau rapalkan.

"Bentar ya, Bu."

"Aduh, Ya Allah, sakit sekali, Ya Allah. Aaaaaaaaaaa." Ibu terus merintih kesakitan. Dan aku segera menggosokkan minyak itu ke punggung ibu.

"Aduhhhhhh..."

"Sabar, Bu."

"Sakit, Winnn. Aaaaawhhhh. Panggilin suster, Win." Ibumu merintih lagi. Keringat dingin membasahi wajah ibumu yang pucat. Tangannya memegang perut, sedang tangan satunya seolah meremas kasur namun tak sampai erat. Kau membangunkan ayah dan tantemu. Memberi tahu mereka bahwa kau mau ke kantor untuk panggil suster. Mereka yang sayup-sayup saat melihat, langsung meloncat mendekati ibu tatkala beliau merintih lagi.

Malam itu, kau buru-buru keluar kamar dan bergegas menuju kantor Anyelir.

"Permisi," katamu sebelum masuk ke kantor. Empat suster yang jaga itu ternyata tidak tidur, tiga diantaranya sedang menulis, entah menulis apa.

"Ohiya, Mbak? Ada apa?" Tanya salah satu suster yang keluar dari dapur. Semua mata tetap memandang ke arahmu.

"Ibu saya, atas nama Ny Tiya merintih kesakitan, Sus." Katamu sedikit gugup.

"Ibu Tiya ya? Hmmm kami sebenarnya belum bisa memberi obat yang macam-macam, Mbak, karena penyakit ibu kan belum diketahui." Jawab suster yang masih berdiri itu.

"Lah iya itu, anu aja, Mbak, gimana kalau kita kasih obat nyeri dulu?" Timpal salah satu suster yang sedang duduk di pinggir itu.

"Ohiya, tidak papa, untuk meredakan nyeri di bagian perutnya." Timpal suster yang lain.

Kau hanya mengangguk saja dan mulai meninggalkan kantor tersebut. Beberapa menit setelah itu, dua suster ke kamar ibu dan menyuntikkan sebuah carian ke dalam infus.

Malam terlalui dengan sangat panjang. Gelap di luar, senyap di dalam. Ayah, tante, dan kau masih terjaga hingga pukul dunia dini hari. Bolak-balik menengok ibu. Kau tidur di kursi sebelah ibu, sedang ayah dan tantemu tidur di sofa yang cukup panjang. Cukup untuk berdua. Tidur seadanya. Sampai akhirnya, mata yang masih berpendar itu perlahan larut bergantian.

MENULISLAH KEMBALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang