Chapter 4

3 3 0
                                    

Kaki Nenza berjalan lesu menyusuri jalanan ibu kota. Dia bingung harus kemana. Disini dirinya tidak punya saudara. Kakek neneknya sudah meninggal dunia. Dia bingung sekali. Tidak mungkin dirinya menginap dihotel. Uang sepersen pun dirinya tidak membawa.

Suara dentuman motor yang semakin dekat membuat Nenza sedikit takut.

"Nenza?", sapa cowok itu.

"Eh Kenneth ya??"

"Iya.", balas cowok itu cuek.

"Lo kok ada disini??", tanya Nenza canggung.

"Gue habis beli cemilan. Lo sendiri?", tanya Kenneth.

"Ggguuee nyari anginn. Iya nyari angin gue.", jawabnya gugup.

"Bohong.", sinis Kenneth.

"Ngggaakk kok.", ucapnya gugup.

Dari kecil, kebiasaan Nenza tak pernah berubah. Jika dirinya sedang berbohong pasti ditanya akan gugup seperti ini.

"Yaudah lo ikut gue aja.", ucap Kenneth.

"Kemanaa?", tanya Nenza.

"Terserah gue lah. Kan yang ngajak gue.", sinis Kenneth.

Nenza pun menaiki motor sport Kenneth. Sedikit kesulitan sih. Namun ini impiannya selama ini. Bisa dibonceng oleh The Most Wanted SMA Harapan Jaya.

Motor yang dikendarai Kenneth berhenti pada sebuah taman kota yang tidak terlalu ramai.

"Ken? Kok kesini?", tanya Nenza.

"Kenapa? Gak suka? Kalo gak suka, lo pulang aja!!", sentak Kenneth pada Nenza.

Nenza hanya bisa diam. Mau pulang pun kehadirannya tak pernah diterima dikeluarganya.

Malam sudah dipenuhi dengan bintang. Tak lupa bulan menjadi satu-satunya yang paling terang. Kehidupannya seperti bintang dan bulan, dia memang ada tapi tak pernah dianggap ada. Karena jumlahnya yang terlalu banyak, sedangkan bulan, dia hanya satu-satunya yang paling bersinar terang dilangit malam.

"Gue anter lu pulang.", kata Kenneth.

"Gak usah. Gue pulang sendiri aja."

"Yaudah."

Motor Kenneth mulai meninggalkan taman kota ini. Keadaan taman kota sudah mulai sepi. Hari sudah mulai larut malam. Pantas saja, yang tadinya ramai sekarang sudah mulai sepi.

" Kak Nenzaaa?", sapa seseorang dari belakang sambil menepuk pelan bahu Nenza.

Nenza agak kaget, "Eh Athaya temennya Qilla ya?"

"Iya kak. Kak Nenza malem-malem kok disini?", tanya Athaya.

"Lagi cari angin.", ucap Nenza bohong.

"Malem-malem cari angin kenapa kak? Kak Nenza bohong ya?", cecar Athaya.

"E-eenggak kok.", lagi-lagi Nenza terlihat gugup. Kebiasaannya itu tidak pernah hilang.

"Gimana ya gue mau cerita.", ucap Nenza sambil menahan airmatanya yang hendak meluncur bebas.

🌻🌻🌻

"Jadi gitu kak ceritanya?"

Nenza hanya mengangguk saja.

Sekarang ini Nenza sedang dirumah Athaya. Setelah bercerita masalahnya tadi, Athaya menawarkan pada Nenza supaya dirinya menginap saja dirumah Athaya sampai masalah ini selesai. Nenza hanya mengangguk tanda ia setuju dengan tawaran tersebut. Toh kalaupun dia menolak, dirinya juga akan menjadi gembel dipinggiran jembatan.
-----

Pagi ini Nenza memutuskan untuk tidak bersekolah dulu. Lagian juga kalau dia sekolah, dia mau pakai seragam siapa. Pakai seragam Athaya?? Itu sangat konyol. Pasalnya postur tubuh Athaya sangat ramping, mungkin seperti penggaris berjalan. Sedangkan tubuhnya, lebih berisi ketimbang tubuh Athaya.

"Kak gue berangkat dulu ya. Anggap rumah sendiri aja.", pamit Athaya.

"Yoi!"

Baru hendak melangkahkan kaki, Nenza memanggil namanya.

"Athaya!", seru Nenza.

"Nape?"

"Jangan bilang Qilla kalo gue disini!", seru Nenza dari dalam.

"GUE GAK BISA JAMIN!", seru Athaya juga.

Keduanya kini seperti didalam hutan. Saling teriak-teriak dipagi hari. Untung saja tetangga Athaya tidak marah-marah. Kalaupun marah-marah, bisa-bisa uang jajan dirinya dipotong separuh. Kalo itu terjadi bisa gawat nasibnya.

"Yaudah deh terserah lu.", ucao Nenza pasrah.





*Maap pendek:v





My StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang