Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi

1. Stasiun Chesire

43.8K 1.8K 52
                                    


Kalau kemarin badanku terasa remuk, sekarang aku nggak bisa berhenti ingusan.

Ya, aku memang sudah tahu dari hasil Googling kalau musim dingin di Melbourne bisa mencapai suhu nol derajat Celcius. Untungnya di sini nggak ada salju. Tapi nggak ada yang memberitahuku sebelumnya kalau angin Melbourne mematikan.

Serius, aku nggak bohong. Angin di sini kencang sekali! Tadi pagi aku terbangun sebelum alarm berbunyi karena kupikir ada orang yang menggedor-gedor jendela kamarku. Tapi ternyata itu angin. Saking kencangnya, tempat sampah yang berat bisa terbalik tertiup angin dan pohon-pohon berkeriat-keriut seolah mau tercerabut dari tanah.

Burung-burungpun sepertinya sampai takut terbang. Sungguh, baru di sini aku melihat burung merpati menyeberang jalan pakai kaki. Aku paham sih perasaan si merpati. Kalau dia nekat terbang, pasti dia bakal tertiup angin.

Hari ini aku janjian untuk bertemu Ningsih di Stasiun Chesire. Chesire adalah nama salah satu suburb  sejenis kelurahan – di Melbourne tempat kami tinggal. Rencananya, Ningsih bakal menemani aku belanja keperluan sehari-hari sekaligus mengajakku berjalan-jalan. Aku memang harus membeli bahan makanan serta beberapa perlengkapan kuliah.

Kurapatkan kerah jaket musim dinginku sambil bergidik. Ya Tuhan. Serius deh, kalau tahu udaranya bakal sedingin ini seharusnya aku pakai tiga lapis pakaian. Karena nggak tahu, aku cuma pakai dua lapis. Atau mungkin empat lapis, mengingat saat ini menggerakkan jari-jari tangan saja aku nggak sanggup!

Sialan!

Kalau di Jakarta, aku pasti udah pesan ojek online. Perjalanan dari rumah menuju Stasiun Chesire ternyata lumayan jauh. Dari Google Map, jaraknya hampir satu setengah kilometer. Kemarin Ningsih menyarankanku untuk jalan kaki saja karena aku belum familiar dengan rute bus di Chesire. Katanya, jaraknya cukup dekat dari rumahku. Aku nggak bakal komplain harus jalan kaki satu setengah kilo kalau cuacanya nggak menantang jiwa menggugah raga macam begini.

Setelah lima belas menit perjalanan yang terasa seabad, akhirnya aku melihat jalan layang tempat kereta melintas. Ada sebuah bangunan warna abu-abu di bawahnya dengan plang nama bertuliskan "Chesire Station."

Akhirnya!

Aku berdiri di dekat zebra cross menuju stasiun dan celingukan mencari Ningsih. Dia hanya bilang Stasiun Chesire, tapi nggak menjelaskan lebih jauh di mana tepatnya. Beberapa orang mengantre di dekat zebra cross untuk menyeberang jalan. Setelah kuamat-amati, ternyata zebra cross di sini adalah jenis yang punya timer dan lampu merah sendiri. Setiap orang yang ingin menyeberang harus menekan tombol timer itu hingga lampu merahnya menyala dan lalu lintas di sekitar terhenti.

Karena Ningsih tidak kunjung muncul, aku mengeluarkan ponsel dari saku dan kutelepon sahabatku itu. Untung kemarin aku langsung membeli kartu SIM Australia begitu mendarat. Sarung tangan terpaksa kulepas karena layar ponselku nggak bereaksi saat dipencet.

Tut... tut... tut.

Nggak diangkat.

Aku menarik napas dalam-dalam. Udara dingin yang jernih mengisi paru-paruku. Oke, sebaiknya aku menunggu di dalam gedung stasiun saja. Kelihatannya di sana lebih hangat.

Sambil menyeberang, serombongan cowok-cowok bule yang sepertinya siswa-siswa SMP lewat di sampingku. Mereka memakai blazer keren bergaris yang mengingatkanku pada kostum pemain sirkus dan... celana pendek.

Demi apa? Kubelalakan mata lebar-lebar, untuk memastikan ini bukan fatamorgana. Celana pendek? Di cuaca empat derajat Celcius?

Sakti banget!

Teman Kos Dari Neraka [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang