Siang itu, kami makan di sebuah restoran bernama Nando's. Harga makanan di sini ternyata tak semahal dugaanku, sekitaran sepuluh sampai dua puluh dolar. Memang sih, kalau dikonversi ke Rupiah harganya akan jadi ratusan ribu. Awalnya aku merasa nggak rela membayar semahal itu cuma untuk makanan, tapi Ningsih bilang itu juga salah satu mental "Indonesia banget" yang harus kuhindari. Tips utama hidup tenang di negeri dengan kurs yang lebih tinggi: berhenti mengkonversi apapun jadi Rupiah. Kalau seperti itu, semuanya bakal terlihat mahal. Jadi kalau hidup di negeri yang memakai dolar, biasakanlah menilai apa-apa dengan dolar juga.
Di Nando's, cukup dengan enam belas dolar aku sudah dapat menikmati satu porsi ayam bakar dengan semangkuk nasi yang ukurannya cukup besar. Ukuran bule, kata Ningsih. Yang pasti ukuran bule ini lebih dari cukup untukku yang hanya setinggi seratus enam puluh delapan senti dan berbobot lima puluh kilo ini. Setelah melahap habis makanan ini, rasanya aku bakal tetap kenyang sampai besok pagi.
Selesai makan kami pergi kampus X University. Ada urusan administrasi yang harus kuselesaikan. Aku menitipkan barang-barang belanjaanku di bagasi mobil Allison, teman satu kos Ningsih yang tanpa sengaja kami temui di Nando's. Si bule berambut merah yang imut ini dengan senang hati mengantarkan kami ke kampus.
X University terletak di pinggiran Chesire dan bisa dikira sebagai kota terpisah saking luasnya. Kompleks kampusnya memang luar biasa besar sampai punya kode pos sendiri! Maklum, X University adalah salah satu universitas terbesar di Australia, dengan lebih dari tujuh puluh ribu lebih mahasiswa. Untuk menampung mahasiswa sebanyak itu, pihak universitas membangun bukan hanya satu, melainkan tujuh kompleks kampus yang tersebar di seantero Melbourne. Kampusku di Chesire ini adalah headquarter, alias kampus utamanya.
Ningsih menunjukkan sepeda-sepeda gratis yang disediakan di sudut-sudut kampus buat mahasiswa letoy anti jalan-jauh macam aku ini. Bayangkan, untuk mencapai pusat kampusnya saja dari gerbang depan butuh waktu lima belas menit dengan jalan kaki! Tapi aku belum bisa memakai sepeda itu karena untuk melepas kuncinya, aku memerlukan Student ID – kartu mahasiswa.
Perjalanan jauh itu terbayar dengan suasana kampus yang ramai di awal semester baru ini. Para mahasiswa berseliweran, banyak yang menenteng laptop Macbook dan semuanya kelihatan cerdas. Ada selusin mahasiswa berkaos biru berlogo X University yang siap menjadi pemandu bagi mahasiswa yang baru pertama kali datang ke kampus sepertiku.
Aku, Ningsih dan Allison menuju Student Center – Pusat Kemahasiswaan – yang terletak di tengah kampus. Sepanjang jalan menuju gedung Student Center, ada sekitar dua puluh tenda putih tempat klub-klub mahasiswa mempromosikan kegiatan mereka dan mencoba merekrut anggota baru.
Allison mampir sebentar ke tenda Dance Club dan mengisyaratkan kami untuk duluan ke Student Center.
"Eh, itu ada Persatuan Pelajar Indonesia," kataku sambil menunjuk tenda PPI.
"Ngapain lo gabung ke situ," Ningsih mencibir.
"Dasar nggak nasionalis. Memangnya lo bukan mahasiswa Indonesia?"
"Registrasinya bayar, lho. Sepuluh dolar."
"'Elah. Sepuluh dolar doang!"
"Kata senior gue yang udah setahun gabung, dia nggak merasakan manfaat berarti tuh ikutan PPI," kata Ningsih. Dia menatap tenda PPI dengan keji seolah mencoba membakar tenda itu dengan tatapannya. "Memang sih kegiatannya banyak, cuma lo tetap harus bayar buat ikut. Kalo kayak gitu apa gunanya jadi member, coba?"
"Ah, masa iya sih ikut PPI seburuk itu?"
"Ada beberapa diskon juga, sih. Potongan sepuluh persen buat pembelian tiket Garuda, tapi siapa juga yang sanggup naik Garuda buat pulang liburan? Gue sih milih naik AirAsia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Kos Dari Neraka [TAMAT]
Teen FictionAulia senang sekali karena dapat beasiswa untuk kuliah di Melbourne. Apalagi tempat kosnya murah, nyaman, dan ibu kosnya baik. Tapi kesenangan itu menguap setelah Aulia tahu dia harus berbagi rumah dengan Jovan, cowok ketus yang tanpa sengaja pernah...
Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi