BAB 24

473 67 2
                                    

Daniel membuka sedikit kelopak matanya, mengintip Caren yang sedang menundukkan kepalanya. Dia pura-pura tertidur. Memang lelah tapi bagaimana bisa dia tidur jika Caren ada di rumahnya, terlebih sedari tadi jantungnya berdetak kencang.

Daniel mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Caren. Perlahan Daniel membuka kedua matanya dan menatap Caren yang kini sedang balas menatapnya dengan pandangan sedikit terkejut.

"Kenapa kau lakukan hal itu?"

Caren mengalihkan padangannya ke tangan yang di genggam oleh Daniel. Apakah pria itu sudah siap untuk mendengar penjelasannya? Menarik napas lalu menghembuskannya perlahan.

"Saat itu keadaan ekonomi keluargaku sedang tidak stabil. Setelah Ayahku meninggal, ibuku menjadi tulang punggung keluarga. Aku selalu melihat ibu pulang larut malam dengan wajah lelah. Meski kami mendapat uang asuransi dari kematian ayahku tetap saja tidak cukup."

Daniel kini mengubah posisi duduknya menjadi menghadap ke arah Caren, tangannya masih mengenggam tangan Caren. "Mereka membuat taruhan tepat ketika keadaan ekonomiku sedang buruk. Taruhannya adalah jika aku bisa menjadi temanmu dan mengajakmu yang terkenal judes bicara, mereka akan membiayai uang sekolahku selama dua bulan, jika aku bisa menjadikanmu pacarku mereka akan membiayai uang sekolahku selama enam bulan."

Caren membuat pola abstrak di punggung tangan Daniel. "Saat itu aku berpikir lumayan bisa membantu meringankan beban Ibu. Aku tidak berpikir kalau tindakanku akan menyakiti perasaanmu. Aku tidak pernah bermaksud untuk mempermainkan perasaanmu."

"Dan? Apakah kau memenangkan taruhannya?"

Sebagian diri Daniel merasa kesal tapi sebagian dirinya yang lain entah kenapa berharap Caren memenangkan taruhannya.

Aneh, ya?

Caren menjawabnya dengan sekali anggukkan kepala. "Aku memenangkan syarat pertama, menjadikanmu temanku dan bicara denganmu, tapi aku menolak hadiah taruhannya. Walaupun aku berhasil mengajakmu bicara, aku menolak. Aku membatalkannya. Rasanya tidak benar."

"Ketika aku bercerita pada Ibuku dia justru memarahiku dan mengomeliku seharian. Ibu bilang aku bodoh, aku masih kecil seharusnya lebih fokus belajar, bukannya memikirkan masalah ekonomi, apalagi aku sampai melakukan hal picik dan jahat seperti itu."

Caren mendesah, kembali mengingat ketika Ibunya marah besar padanya. "Dia bilang aku seharusnya tidak perlu khawatir soal uang sekolah karena masih memiliki uang asuransi dan warisan dari Ayah. Sebelum meninggal Ayah memang sudah menyiapkan segalanya untuk memastikan kami berdua bisa hidup layak dan berkecukupan. Ayah juga memiliki tabungan yang cukup untuk biaya pendidikanku sampai kuliah kalau perlu sampai S3 juga tabungan Ayah masih cukup."

Daniel kini mengetahui alasan Caren melakukannya. Caren tidak bermaksud buruk. Dari ucapan Caren dia tahu bahwa gadis itu mengatakan hal yang sebenarnya.

"Kapan kau menerima taruhan itu?"

"Sebelum tugas kelompok, dan ketika kita di pasangkan itu menjadi kesempatan besar untukku."

Daniel mendesah. "Katakan padaku dengan jujur, kalau bukan karena taruhan itu, apakah kau tetap mau mengajakku bicara dan menjadikanku sebagai temanmu?" tubuh Daniel menenang, menunggu dengan penuh antisipasi untuk mendengar jawaban yang akan di berikan oleh Caren.

"Tentu saja!" jawaban Caren begitu cepat. "Memangnya apa salahnya aku berteman denganmu?"

Daniel merasa lega dengan jawaban Caren. "Lalu, kenapa kau tidak mengatakan hal ini langsung padaku ketika kau sudah tahu siapa aku sebenarnya?"

Caren tahu pertanyaan itu cepat atau lambat akan di lontarkan oleh Daniel. Meski nanti jawabannya seperti mencari-cari alasan dan pembenaran tapi memang seperti itu adanya.

"Kita baru saja bertemu kembali, baru saja jadian dan aku juga baru tahu kamu adalah Daniel temanku belum lama ini, kan? Aku tidak berani merusak hubungan kita. aku takut. Aku takut sekali." Caren menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya.

"Apa yang kau takutkan?"

"Kehilangan dirimu lagi. Aku takut kamu pergi lagi setelah aku menceritakan ini semua. Kita kan belum lama baikan dan kamu kalau marah nyeremin. Kamu pernah mengabaikanku selama kelas tiga, ingat?"

Daniel menarik kedua tangan Caren menjauh dari wajah gadis itu, dia tahu perasaan Caren sama seperti dirinya yang begitu takut mengakui siapa dia sebenarnya. Takut pengakuannya akan menghancurkan hubungan mereka yang baru saja berjalan.

Daniel menundukkan wajahnya agar mata mereka saling bertemu. "Aku akan memberikan apapun yang kau inginkan, tapi dua yang tidak bisa kuberikan." Daniel terdiam menggamati wajah Caren yang balas menatapnya dengan raut penasaran. "Aku tidak akan pernah bisa melepaskan dan meninggalkanmu, jadi jangan pernah meminta itu dariku dan jangan pernah memikirkan hal itu."

Caren berkedip, pendengarannya tidak salah, kan?

"Tapi sikapmu ketika mengetahui taruhanku itu seolah-olah..."

"Iya. Aku hanya menggertakmu, aku menghukummu. Aku kesal dan aku merajuk. Katakanlah aku bersikap kekanak-kanakkan."

Ditariknya tangan Caren yang sedari tadi di genggamnya dan di bawanya tubuh Caren ke dalam pelukannya.

"Maafkan aku karena tidak mau mendengarkan penjelasanmu dan terus saja menghindar." Daniel seharusnya bisa bersikap lebih dewasa. Permasalahan ini bisa cepat selesai dan tidak berlarut-larut kalau saja Daniel mau mendengarkan penjelasan Caren., tapi apa dayanya? Saat itu dirinya memang benar-benar sedang dikuasai emosi, ia tidak mau sampai membentak dan melampiaskan amarahnya pada Caren.

Caren menggelengkan kepalanya. "Kau berhak marah. Jika aku jadi kau, aku pasti akan melakukan hal yang sama. Itu hal yang normal."

Daniel menenggelamkan kepalanya di lekukan leher Caren. Daniel menghirup dalam-dalam aroma Caren, rasanya seperti kembali pulang, nyaman, hangat dan pastinya lega.

Perlahan Daniel melepaskan pelukannya dan mendongakkan kepalanya, menatap mata Caren dengan intens. Perlahan bibirnya turun untuk menyentuh bibir Caren.

Caren sama sekali tidak menutup matanya. Ia melihat dan menunggu dengan jantung berdebar begitu kencang hingga sampai terdengar oleh telinganya sendiri.

Bibir Daniel perlahan mendarat di bibir lembut milik Caren. Sesaat hanya terdiam tanpa ada satupun yang bergerak.

Daniel memejamkan matanya dan membuka bibirnya perlahan. Menarik lembut bibir bawah Caren.

Mereka berciuman cukup lama. Tangan Daniel tidak bisa diam, ingin merasakan kehalusan kulit Caren. Ditariknya tubuh Caren untuk duduk di pangkuannya. Daniel mengelus punggung Caren lalu menarik kemeja Caren dan menyelipkan tangannya ke balik kemeja gadis itu. menyentuh kulit punggungnya yang begitu halus dengan telapak tangannya.

Sebelah tangannya menyentuh tengkuk Caren, menahan bibir mereka untuk tetap saling menempel.

Perlahan bibir Daniel bergerak turun ke leher Caren. Memberi kecupan demi kecupan. Bibirnya terus bergerak ke bawah. Daniel membuka satu persatu kancing kemeja Caren dan satu kancing lagi menyusul.

Bibir Daniel bergerak mengecup pundak Caren yang kini terbuka, bergerak terus turun sampai...

"Astaga!"

Caren terlonjak kaget, langsung memeluk Daniel menggunakan tubuh pria itu untuk menutupi tubuh bagian depannya yang terbuka dan Daniel mendongakkan kepalanya dengan malas, menatap si pemiliki suara dari balik bahu Caren.

Dua orang paruh baya, pria dan wanita menatap ke arah Daniel dengan pandangan terkejut.

"Ma, Pa.." Daniel mengerang kesal. Mereka datang di saaat yang tidak tepat.

Sial!

05052019

Copyright©2018 Liliann Lily

When We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang