5 # Perang Perasaan

15 5 1
                                    

"Aku mencintaimu."

Masih terbayang di kepala Juni saat ia mengatakannya pada Bulan. Saat itu Juni sedang mencoba mendamaikan pikiran dan perasaannya.

"Aku hanya bercanda."

Yang akhirnya dimenangkan oleh pikirannya, logikanya. Sehingga itulah yang Juni katakan. Melihat Bulan hanya menatapnya tanpa jawaban. Juni semakin yakin, jika perasaannya tak akan terbalaskan.

Sesalnya menjejak didalam hati. Mengapa Juni tak membiarkan perasaannya terungkap? Ya, alasannya adalah Juni takut kehilangan Bulan. Takut kehilangan saat-saat bersama Bulan. Meski tetap bersama, Juni takut ada sejengkal jarak diantara ia dan Bulan.

Bukan. Bukan jarak kedekatan mereka. Namun, jarak antara perasaan mereka. Maksudnya canggung. Juni sungguh belum siap untuk menghadapi keadaan tersebut. Ia terlalu takut.

"Karena kamulah Bulanku yang tak akan pernah ku miliki." Juni tersenyum miris saat sadar orang yang dipikirkannya muncul dengan wajah tidak seperti biasanya.

"Kenapa kamu, Bulan? Kamu ngga kayak biasanya." Tanya Juni saat Bulan duduk disampingnya.

"Juni, aku aneh ya?" Juni menatap Bulan dengan bingung.

"Hmm.. ngga." Juni menggelengkan kepalanya dengan yakin.

"Bener? Penampilanku? Wajahku? Ngg ada yang aneh?" Bulan memainkan mimik wajahnya yang membuat Juni semakin bingung.

"Sikapmu, sekarang lagi aneh."

"Baiklah, aku emang aneh. Aku ngga bisa bersikap dewasa kayak mereka. Bahkan berpenampilan dewasa pun ngga bisa." Bulan merajuk dan memanyunkan bibirnya.

"Kamu kenapa sih? Jadilah dirimu sendiri." Juni berusaha menenangkan pujaan hatinya itu, eh, maksudnya teman.

"Tapi, aku ingin terlihat dewasa."

"Untuk apa? Udahlah gini aja kamu terlihat lebih imut." Juni menarik wajah Bulan, ia melihat dengan seksama paras cantik dihadapannya. Mencari celah kekurangan namun ia tak menemukan hal itu.

"Tadi aku bertemu dengan seorang perempuan seumuran kita, dia bilang dia teman SMA ku juga, aku ngga terlalu mengenalinya karena dia pakai masker. Terus dia bilang kalau aku masih polos seperti saat SMA." Akhirnya Bulan cerita semua kejadian yang ia alami saat di jalan.

"Lho, kan emang kita baru lulus SMA, status kita CAMABA. Wajarlah." Senyuman Juni meluruhkan dunia Bulan.

"Ahh Juni, aku ingin dicintai seseorang."

'Bagiku kau tetaplah Bulanku. Kau tak perlu merubah penampilan ataupun sikapmu. Kau tetaplah Bulan dihati Juni. Tanpa kau meminta, aku selalu mencintaimu. Meski kau tak tahu soal itu.'  Batin Juni.

"Sabar, akan ada saatnya manusia dicintai dan mencintai, itu pasti, Lan. Dalam hal cinta, kita tidak tahu akan menjatuhkan hati pada siapa. Sama seperti proses turunnya hujan, ketika awan sudah tak lagi mampu menampung uap air, maka air itu akan jatuh tanpa tahu bagaimana keadaan bumi yang ia jatuhi. Ngga tau si bumi itu hangat atau dingin?"

Bulan bertepuk tangan dengan wajah tak percaya, menggeleng-gelengkan kepalanya. Mendengar taklik antologi dari mulut Juni benar-benar membuat Bulan terperangah. Laki-laki kaku seperti Juni ternyata bisa juga membuat antologi yang sedikit hiperbola tapi berdasarkan fakta.

"Waw!! Kayaknya kamu tertular virus antologi hiperbola ala Bulan ya? Kalau begini, aku atau kamu yang akan jadi penulis?" Bibir Bulan sudah tersenyum lebar, kalimat Juni sungguh ampuh meluluhlantakkan perasaannya.

"Hahahaha, kan kamu yang ngajarin. Tetap aja, Bulan Aurellia lah yang akan menjadi penulis terkenal. Aku akan tunggu itu." Juni balas tertawa, tawa yang begitu hangat, menghangatkan dinginnya malam ini.

"Dasar wibu." Celetuk Bulan.

"Heh, sadar diri dong. Kamu juga wibu."

Duduk diatas rerumputan, mereka saling ejek, tertawa, bahagia, mencoba lupakan soal perasaan. Keduanya bercengkrama dengan cakrawala malam, melukis garis-garis yang dibentuk oleh rasi bintang. Tak lupa, sang bulan semakin mempercantik langit malam, meski gelap namun cerah. Tak ada awan yang menutupi kilauannya.

Dingin, tak membuat mereka jengah, justru mereka saling menghangatkan. Meski selimut rasa itu tak terlihat, mereka dapat merasakannya. Sungguh nyata, perasaan mereka nyata, hanya saja hubungan mereka yang semu. Kelabu.

"Bulannya indah ya?" Juni menatap langit malam dengan senyuman singkat yang mengukir bibirnya.

"Hmm" Bulan hanya mengangguk tanpa menoleh ke Juni.

"Sama indahnya dengan Bulan yang ada disampingku." Juni mengalihkan pandangannya, menatap Bulan.

"Iya. Aku emang indah." Bulan mengangguk penuh percaya diri saat ia disamakan dengan bulan yang ada di langit.

"Kalau dilihat-lihat, kalian punya banyak persamaan ternyata." Juni kembali menatap sang bulan, wajah Bulan pun ikut serta terlukis di mata Juni.

"Oh ya? Apa?" Bulan mengernyitkan dahinya, ia menatap Juni dengan penuh rasa penasaran.

"Kalian sama-sama indah, keduanya selalu ada di setiap malamku. Bedanya, bulan itu ada di langit, kamu ada di mimpiku. Lalu, aku menyukai keduanya, dan yang paling penting kalian sama-sama tidak dapat ku miliki meski sampai lelah aku mencoba menggapai, tak akan." Juni terus memandang bulan yang menggantung diatas langit, hingga pada kalimat terakhir, ia memejamkan matanya. Mengumpulkan energi untuk dapat mengatakan hal tersebut, barang kali Bulan akan mengerti.

Hening..

Mendengar hal itu, Bulan tak diam begitu saja namun pikirannya berkecamuk, memutar otak, menahan hati untuk tidak terbawa perasaan.

Bagaimana dengan Juni? Kali ini ia tidak menyesal telah mengatakannya. Justru Juni berharap Bulan mengerti hal itu, ia terus memohon pada sang bulan agar menyampaikannya pada Bulan Aurellia.

Mereka sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing, sibuk berharap, sibuk memohon, sibuk menahan semua rasa.

"Eh iya ini bulan juni kan?" Bulan memecah hening.

"Iya. Bulan ini aku ulang tahun. Siapin kado ya." Juni mencoba cairkan suasana.

"Mau kado apa dari aku?"

"Apapun yang dari kamu." Juni menghiasi sudut bibirnya dengan senyuman. Matanya pun sangat indah.

"Oh iya aku ingat, kata kamu, aku itu spesial."

"Spesial? Kayak martabak aja. Hahaha."

"Eh, itukan kata-kata aku. Dasar ngga kreatif."

Mereka tertawa lagi dan lagi, ah, sepertinya sudah banyak tawa yang mengisi hari-hari saat mereka bersama dan tak lupa banyak ketidakpastian didalam hubungan mereka. Entah sampai kapan mereka harus melingkar tanpa ada isi untuk membulat.

"Ngomong-ngomong soal martabak, traktir martabak dong." Bulan punya ide bagus untuk memenuhi kebutuhan perutnya.

"Salah ngomong kayaknya nih."

"Hahaha, ayok ih berdiri. Let's go!"

Juni berdiri dengan malas, sedangkan Bulan puas dengan ide bagus yang ia punya.

'Namaku Bulan dan namamu Juni. Ternyata kita juga punya kesamaan dengan bulan juni. Kita sama-sama selalu berdampingan. Namun, kita tidak pernah menyatu.' Batin Bulan.

Bersambung
16 Juli 2019

Alohai, Bulan dan Juni balik lagi. Maaf ya telatnya kebangetan 🙏🙏
Dimaapin gak nih???

Sebenernya ini udah ada di notes, cuma tinggal ngebenahi alurnya, tapi aku gak sempet.

Jadi, gimana kalian gregetan gak sih sama hubungannya Bulan dan Juni?

Aku sih greget trus kesel sendiri, tapi ya gimana lagi heheh

Stay tune yah my love readers 💖💖

Bulan dan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang