Juni memandang langit malam penuh bintang-gemintang pun sang purnama yang bertengger cantik diatas sana.
Malam ini berbeda dari malam-malam sebelumnya. Malam ini kurang lengkap tanpa kehadiran Bulan, meski ia tahu, tak lama lagi ia harus terbiasa dengan semua ini.
Namun bukan hanya itu yang membuat malamnya berbeda. Ia pergi ke Bandung bukan karena urusan beasiswa ataupun kuliahnya. Melainkan ia harus menyelesaikan beberapa masalah yang tidak diketahui oleh Bulan.
Satu hal lagi yang membuat malam ini berbeda, yaitu kedatangan seseorang dari masa lalunya membuat suasana hatinya semakin berantakan.
*****
"Hai." Seorang perempuan duduk disampingnya setelah menaruh tasnya di bagasi kereta.
Juni terkejut melihat kehadiran seseorang disampingnya.
"Gimana kabarnya?" Tanya perempuan yang berada disampingnya.
"Baik." Juni menjawab dengan singkat, tanpa melihat ke arah perempuan tersebut.
"Bulan gimana?" Pertanyaan tersebut membuat Juni langsung mengarahkan pandangannya ke perempuan tersebut yang juga sedang memandanginya dengan senyuman.
"Baik juga."
"Ah, pastinya dia baik karena dia bersama kamu. Kalau begitu aku juga akan bahagia. Ya kan?" Perempuan tersebut kemudian menyeringai, sorot matanya sulit ditebak.
"Jadi, hubungan kalian masih sebatas teman?" Kini perempuan tersebut mengalihkan pandangannya dari mata Juni.
Yang ditanya, tidak menjawab, tepatnya tidak ingin menjawab pertanyaan tersebut.
"Diam berarti 'iya'." Perempuan tersebut terus mendesak Juni. Sedangkan Juni tetap diam, ia rasa ini lebih baik daripada ia harus menjawab itu semua.
"Bulan, dia itu--"
"Cukup! Bulan adalah perempuan yang baik, dia tulus, dia hanya perempuan lugu yang tidak tahu masalah ini." Juni angkat suara, ia geram dengan semua perkataan perempuan tersebut. Ia juga tahu maksud dari semua perkataannya.
"Justru itu, keluguannya membuat dia tidak bisa membedakan sikap yang kamu berikan padanya."
"Tidak, sikapku kini tidak akan salah. Karena aku memiliki perasaan untuknya. Aku-- aku mencintainya."
Mendengar hal itu, perempuan tersebut mendengus licik disertai seringaian dan tatapan tajam.
"Cinta? Apa kamu yakin? Apa itu benar-benar cinta? Atau hanya sebuah rasa empatimu saja?"
Hati Juni bergetar, ia seperti mendapatkan sebuah tamparan. Tangannya mengepal menahan emosi, buku-buku tangannya memutih. Rahangnya bergemerutuk. Ia memejamkan matanya untuk meredamkan amarah.
"Sepertinya kamu tidak nyaman duduk disebelahku. Baiklah, aku akan pindah." Perempuan tersebut mengambil tasnya dan beranjak pergi namun sebelum ia melangkah, ia mengatakan sesuatu hal pada Juni.
"Oh iya, aku hanya, tidak ingin nasib Bulan sama sepertiku."
"Pergi! Pergi kamu!" Juni tak kuasa menahannya. Ia mengusir perempuan tersebut.
"Tidak perlu berteriak, aku akan pergi." Perempuan tersebut meninggalkan Juni dengan senyum seringai. Sedangkan napas Juni tersengal-sengal, menahan amarah yang sudah membuncah di ujung kepalanya.
*****
Ponsel Juni berdering, layar ponselnya menampilkan satu pesan dari nomor tak dikenal. Ia memicingkan matanya, heran, kemudian ia membuka isi pesan dari nomor tersebut.
"Oh ya, bahkan kamu tidak memberi tahu Bulan kenapa kamu pergi ke Bandung. Hubungan kalian penuh rahasia. Itu cinta? Atau hanya sekadar empati belaka?."
Juni melempar ponselnya ke sofa yang berada di balkon rumahnya. Ia mengacak-acak rambutnya, frustasi, duduk di sofa dengan kasar.
Apa yang harus dilakukan untuk meyakinkan perasaannya? Batin Juni. Kali ini Juni harus yakin, Juni tidak ingin mengecewakan seseorang yang ia sayang hanya karena harapan-harapan yang ia berikan. Juni tidak ingin terjadi kesalahpahaman untuk kedua kalinya yang membuatnya cukup merasa bersalah. Juni harus benar-benar memastikan hal tersebut agar ia tidak lagi keliru.
Empati yang ia miliki memang cukup besar, hingga rasa empati tersebut justru menghancurkan perasaan orang lain.
Juni meraih ponselnya yang berada di sofa sebelah sofa yang ia duduki. Ia mengetik nama seseorang di kolom pencarian konraknya, kemudian menelepon orang tersebut.
Panggilan pertamanya tidak ada jawaban, ia mencoba meneleponnya kembali, masih tidak ada jawaban. Sekelebat pikiran buruk tentang orang yang ia telepon muncul di kepalanya. Ia terus mencoba meneleponnya berkali-kali. Sampai panggilannya ke 11, orang tersebut baru menjawab teleponnya.
"Halo." Orang disebrang sana menyapa terlebih dahulu dengan nada santai tanpa merasa bersalah karena telah membuat Juni panik.
"Bulan! Kamu kemana aja sih? Aku telepon kamu berkali-kali ngga diangkat." Juni kesal karena Bulan tidak segera mengangkat teleponnya.
"Eh iya kah?" Mendengar jawaban Bulan yang seakan tidak tahu apa-apa membuatnya heran.
"Tumbenan nih orang lama ngangkat telepon, dari mana nih orang? Apa ketiduran?" Batin Juni bertanya-tanya.
"Oh iya! Maaf Juni, tadi aku abis nulis blog. Jadi HP nya aku silent."
"Udah kamu upload? Aku mau baca deh." Juni sangat bersemangat jika soal tulisan-tulisan Bulan. Bagi Juni membaca tulisan Bulan seperti sedang membaca isi hati Bulan, meski ia tidak benar-benar tahu pasti akan hal itu.
"Eh belum Jun, aku belum selesai. Aku lagi istirahat bentar."
Pikiran Juni berkelana, ia mempertimbangkan perasaannya.
Cinta? Empati? Cinta? Empati?
"Juni, kamu lagi ngapain disana?" Suara disebrang telepon mengejutkan Juni, membuat pikiran akan hal tersebut terhenti.
"Oh, aku lagi diskusi sama temen-temen, tentang pembuatan proposal beasiswa." Bohong, Juni jelas-jelas telah berbohong. Karena ia pergi ke Bandung bukan karena urusan kuliah.
"Duh anak beasiswa lagi sibuk nih ya."
"Kamu kan juga, Lan. Kita seperjuangan kok."
"Kalau gitu sekarang kamu lanjutin diskusinya, aku juga mau lanjut nulis lagi."
"Oke, bye Bulan."
"Bye"
Sambungan telepon pun telah terputus. Namun Juni masih memikirkan tentang perasaannya. Akankah ia menyatakan hal tersebut pada Bulan?
Juni kembali menelepon Bulan.
"Kenapa?" Saat mendengar suara itu, Juni mengurungkan niatnya.
"Jangan tidur malem-malem. Ganbatte!" Juni mematikan ponselnya lebih dulu. Kemudian ide jahilnya keluar, sehingga Juni kembali menelepon Bulan.
"Jangan kangen." Hanya itu yang ia katakan sebagai penutup percakapan mereka yang sederhana namun mampu mengobati setitik rasa rindu.
Disaat-saat Juni masih ingin menikmati rasa bahagianya karena Bulan. Ilham datang dan menghampiri Juni.
"Jun, ada Natta dibawah nungguin lo."
Bersambung
31 Agustus 2019Nah lohh! Siapa lagi tuh Natta?
Setelah ada Revan, sekarang ada Natta.
Penasaran?! Makanya ikutin terus ceritanya!
And then, jangan lupa vote dan comment nya.
Dannnn..... THANK YOU BINGGO BUAT YANG UDAH SETIA VOTE 💖
LOPYUU 😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan dan Juni
Teen Fiction''Namaku Bulan dan namamu Juni. Ternyata kita juga punya kesamaan dengan Bulan Juni. Kita sama-sama selalu berdampingan. Namun, kita tidak pernah menyatu. Seandainya kamu tahu rahasiaku selama ini, aku mencintaimu Juni.'' ...