Bagian : 8

948 207 47
                                    

Arrum kaget saat melihat lelaki yang sangat ingin di hindarinya sedang duduk bercanda ria dengan Embu. Ia merasa tujuannya untuh menata kembali hatinya gagal, ini sama saja ia baru ingin melangkah ke dunia baru tapi sebuah tangan lebih dulu menahannya. terus sekarang ia harus bagaimana?

Jabar menghampiri Arrum saat matanya menangkap keberadaan gadis itu " Kejutaaaan !" ucap Jabar riang sedangkan Arrum memandangnya datar.

" ngapain kesini? sana pulang!"

" lo kok marah? seharunya kasih senyum kek,  aku udah jauh-jauh datang kesini"

" siapa suru ke sini! pulang sana!" Arrum berjalan menjauhi Jabar yang otomatis di ikuti oleh pemuda itu.

" loh. kok kamu yang marah. seharusnya aku yang marah. kamu gak pernah angkat telpon aku, kamu juga nggak ngomong ke aku mau kesini. terus cowok itu siapa?" tanya beruntun Jabar yang masih membuntuti Arrum saking marahnya mereka bahkan tidak sadar sedang berdebat di kamar yang di tempati oleh Arrum.

" apa itu penting?"

" penting lah, aku kan khwatir"

" kenapa? kenapa kamu harus khawatir?" teriak Arrum frustasi.

" kamu kan sahabat aku, ma-makanya aku khawatir" Arrum tersenyum miris mendengar ucapa Jabar, seharusnya ia tidak perlu bertanya seperti itu. bodoh, bahkan ia sudah tau jawabannya.

" terus apa tujuan kamu ke sini?"

" jemput kamu, aku kesepian nggak ada kamu"

kesepian katanya, bisakah Jabar tidak mengucapkan kata-kata seperti itu? setiap kata yang pemuda itu ucapkan selalu menyakiti Arrum.

" mana mbak Rianti?"

" di jakarta. dia kerja, sibuk. dia lebih mentingin kerjaannya dari pada aku" Ucap Jabar tanpa sadar telah duduk di ranjang.

Arrum?

Arrum ingin meruntuki dirinya sendiri sekarang. Jabar datang kepadannya hanya sebagai pengalihan rasa kesepian pemuda itu yang di tinggal sang istri.

Ekhem

Arrum berdehem, ia tidak mau suaranya terdengar aneh di telinga Jabar. sepertinya Arrum harus menggaris bawahi kata sahabat sebesar-besarnya mulai sekarang, ia tidak mau perasaannya merusak segalannya.

" kenapa kamu ke sini saat istrimu di Jakarta?" ucap Arrum saat logikannya kembali. ia ingin menjadi sahabat yang baik, yang saling mengingatkan saat sahabatnya sahabatnya melakukan kesalahan, cukup ia saja yang salah, yang masih cemburu melihat Jabar dan istrinya.

" kan aku udah bilang jemput kamu gimana sih bu guru ni! " kesal Jeka sambil melihat Arrum yang berdiri tidak jauh dari ranjang yang ia duduki.

" bukan itu maksud aku Bar, kenapa kamu mendatangi perempuan lain saat istrimu tidak ada? kamu ngerti kan maksud aku?"

" apa salahnya? kitakan teman, malah kayak keluarga lagi" Jabar diam sejanak " kenapa kita jadi ribet gini sih sekarang ?"

" kamu itu bukan bujang lagi Bar, kamu sudah menikah. ada batasan di pergaulan kamu"

Ribet yang di ucapkan Jabar, tidak seribet yang di rasakan Arrum. di sini Arrum melibatkan hati, dan itu jauh lebih sulit.

setelah menikah Jabar selalu mendengar Arrum berkata perempuan dan lelaki, tanpa di beritahupun dia sudah sadar sejak awal bertemu gadis itu kalau mereka memang berbeda, Arrum perempuan sedangkan dirinya lelaki.

Jabar paham akan maksud Arrum itu, tapi ia merasa tidak ada yang salah. ia tidak melewati batas. tapi setelah matanya melihat sekelilingnya ia sadar ia sudah melewati batas. ia berada di tempat yang tidak seharusnya dan itu membuatnya canggung. seumur mengenal gadis itu, ia tidak pernah memasuki kamar ataupun berduaan saja di ruangan pribadi itu.

Jabarum (Jangan bersedih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang