Terhitung dua hari satu malam sudah adiknya tidak pulang.
Sama halnya Veranda, Viny juga memiliki seorang adik perempuan remaja. Baru kelas satu SMA, namun licin bukan kepalang.
Tidak seperti hubungan Gracia dan Veranda, Viny dan adiknya kerap kali berseteru. Bahkan hanya karena hal sangat kecil.Febi, begitu ia memanggilnya. Mereka sangat mirip, orang-orang akan langsung percaya jika salah satu diantaranya mengaku sebagai adik kakak. Namun sayang, mereka jarang sekali terlihat bersama. Bagi Febi, Viny adalah kakak dengan pikiran kolot, kerap kali membandingkan cara gaulnya dengan Febi yang jelas-jelas berada di jaman berbeda, sangat tidak menyenangkan. Sedangkan menurut Viny, Febi tak lebih dari anak nakal, susah di atur, dan sangat licin. Oh, jangan lupakan kata "aneh" yang Viny sematkan pada adik satu-satunya tersebut.
Kesibukan orang tua yang jarang sekali di rumah, membuat Viny kesusahan membagi waktu pada tugas kuliah dan mengurus adik sepulang sekolah.
Selesai kelas, Viny bergegas keluar, terlihat sekali sedang buru-buru. Menimbulkan penasaran bagi Veranda yang berada di kelas yang sama.
"Mau kemana? Kenapa buru-buru banget?"
Suara lembut itu menyapa. Menghentikan Viny untuk menyempatkan menoleh padanya.
"Febi udah gak pulang ke rumah dua hari, Ve. Aku mau nyusulin ke sekolahnya"
Veranda mengernyit dengan tatapan seolah bertanya "ada apa lagi?"
"Mau ikut gak?" Viny yang tak peka arti tatapan barusan malah menawarkan hal lain.
"Tapi 'kan jam segini biasanya anak SMA udah pulang, Viny"
Viny menengok jam tangannya, benar juga.
"Iya sih. Ya, tapi siapa tau aja dia gak jauh-jauh dari sana" ucapan Viny mengandung harapan semoga saja Febi sedang bergalau ria di salah satu warung pinggir jalan dekat sekolahnya. Jajan bakso atau siomay mungkin.
"Aku ikut deh"
Demi menjaga supaya Viny tak melakukan hal lebih pada adiknya di tempat umum.
***
"Masih belum mau pulang emang?"
Tanya salah satu gadis dari dua yang berseragam sama, putih abu-abu. Mereka mengendarai satu motor matic, si penanya barusan adalah yang membonceng di belakang, memakai helm demi keselamatan.
"Gue bakal pulang kalo dia udah minta maaf"
"Gak boleh gitu, Bi. Cuma gara-gara hal kecil kamu kabur dari rumah berhari-hari. Kak Viny pasti khawatir tau"
"Halah, dia bukan khawatir sama gue, tapi takut fasilitasnya di cabut sama bokap, Fa"
Ternyata Febi, dan Rifa -teman dekat satu-satunya.
"Lagian ini tuh udah bukan hal kecil lagi. Dia acak-acak kamar gue, terus bakar-bakarin DVD musik gue, gimana bisa dianggap hal kecil coba? Gue beli itu pakek duit jajan sendiri tau" ucap Febi menggebu-gebu.
"Iya-iya tau. Sabar ya" dari belakang tangan kecil itu mengusap-usap punggung Febi, mencoba menenangkan.
"Kenapa sih gue gak dilahirin jadi anak tunggal aja?" Febi bergumam, bertanya untuk dirinya sendiri.
Tin! Tin!
Suara klakson mobil dari belakang, di bunyikan berkali-kali, keras, dan tak santai. Rifa bahkan sempat terperanjat kaget, sementara Febi reflek memeriksa lewat kaca spion. Ia kenal mobil itu, beserta pengemudinya.
"Ck, si cungkring" decaknya, mengeluh tak suka.
"Pegangan Fa. Gue mau ngebut"
"Eh? Kenapa?"