Langit masih sama biru, pun awan yang masih berwarna putih, tak ada perubahan seperti perasaannya yang sukar sekali di hilangkan. Beby dan hatinya sama sekali belum berubah. Bulan-bulan berlalu di sana masih tetap ada Shania.
Sepintar apapun ia menghindar, mengurangi intensitas pertemuan, tetap saja hatinya masih membantah.
Kali ini terjadi lagi, saat Beby tak sengaja berpapasan muka dengan Shania di lobi kampus, ia tak punya kesempatan untuk menghindar kali ini. Jika biasanya Beby akan memilih berbalik arah, memilih yang lebih jauh asal tidak bertemu muka dengan Shania. Saat ini posisinya beda, Shania sudah terlanjur menangkapnya. Ia berjalan cepat mendekat pada Beby yang tadinya mau pergi, menahan pergelangan tangan kurus itu untuk tetap tinggal.
Jika Beby ingin terus menjauh, lain hal dengan Shania yang ingin membicarakan banyak hal pada Beby. Ia ingin bicara, mereka butuh bicara.
"Kenapa kamu ngehindar terus?"
Beby membuang pandangannya kearah lain setelah tak sengaja menangkap sebuah cincin putih tersemat di jari manis sebuah tangan yang sedang menahannya.
"Aku mau ngomong sama kamu"
"Ya udah, apa?"
"Tapi gak disini"
"Disini aja"
"Tapi Beb-"
"Disini, atau enggak sama sekali"
Shania memejamkan matanya erat, ia menarik nafas berusaha mengendalikan perasaannya. Ia tahu, pada dasarnya Beby memang orang yang dingin. Tapi ketika ia mendapat perlakuan seperti itu, jelas hatinya tak terima, ia menolak.
Shania menyerah, ia mengangguk.
"Aku minta maaf"
Kali ini Beby yang mengangguk, tanpa ada niat mengeluarkan kalimat apapun.
"Apa yang aku tulis di surat itu, ya itulah kenyataannya. Aku di jodohkan dan gak ada celah untuk nolak"
Beby masih diam. Ia memberi semua waktu pada Shania untuk berbicara.
"Dari awal perjodohan ini, aku emang gak kasih tau sama kamu. Bukan maksud mau bohongi kamu, tapi aku takut kamu marah terus ninggalin aku gitu aja.
Sejak itu, aku berusaha buat nolak keputusan Papa sama Papanya Sakti..."Jangan katakan lagi. Beby sangat enggan mendengar nama itu keluar dari mulut manisnya. Ia bahkan tak mendengarkan apa yang selanjutnya Shania katakan.
"Sampai sekarang di hatiku masih ada kamu. Demi Tuhan aku gak bisa jauh dari kamu, Beby. Aku sakit setiap kali kamu ngehindar. Aku gak bahagia sama hidupku yang sekarang"
Apa maksudnya? Ia bertanya dalam hati. Tidakkah dengan kalimat itu Shania berusaha untuk membujuk Beby agar kembali. Sebagai apa? Simpanan istri orang?
"Aku kangen kamu, By" suara itu lirih dan memelas. Shania melangkah lebih dekat, ingin rasanya ia memeluk. Namun Beby mundur sebanyak langkah kakinya yang mendekat barusan. Membuatnya mengernyit, bingung sekaligus tersinggung.
"Kenapa?" Shania bertanya.
Beby menggeleng. "Kamu udah jadi milik orang lain, suka atau gak suka kenyataannya emang begitu. Dan, gak sopan rasanya kalau aku nyentuh kepunyaan orang tanpa sepengetahuan pemiliknya"
Pernyataan Beby sukses membuat Shania terdiam. Pelan namun tajam. Cukup untuk menohok hatinya sampai ke ujung terdalam.
"Aku mau pulang. Dan kalau gak salah, kelas kamu sebentar lagi mulai 'kan?"
"Beby" Shania mencoba menahan langkah Beby dengan memegangi kedua tangannya. Tatapan mata itu memohon. Sepenuh hatinya masih menginginkan Beby.
Namun kemudian Beby lepas perlahan, disertai senyum miris Beby ucapkan "gak bisa Shan. Ini bukan soal masih cinta atau enggak. Tapi tata Krama, dan sopan santun. Aku hargai kamu dan juga suami kamu, aku hargai kalian, rumah tangga kalian. Hidup kamu udah bukan tentang aku lagi, pun sebaliknya.
Kita selesai sejak surat itu aku terima, artinya hidup kita udah masing-masing sejak itu, Shan"