"Kak Amel. Aku suka sama Kak Amel. Di terima gak?"Wut?!
Beberapa garis horizontal membentuk kerutan pada dahi Amel yang baru saja tiba di tempat latihan anak akademi. Tidak, bukan ia ikut latihan. Amel hanya iseng main-main ke sana sambil menengok teman-teman seperjuangan yang lain.
Tapi sebuah kejutan. Ketika baru saja ia masuk belum ada lebih dari tiga langkah. Seorang bocah yang lebih tinggi bernama Azizi sudah menghadangnya saja, dengan sebuah boneka kecil sebesar kepalan tangan yang tak jelas bentuknya, wajah itu kentara sekali seperti menahan sesuatu."Hallo, Mel? Kamu masih di sana 'kan?"
Sebuah panggilan dari headset yang menempel di telinganya. Mengajak Amel untuk kembali pada kenyataan, bahwa sedari tadi ia sudah mengabaikan pertanyaan-pertanyaan Erika yang sedang menelponnya hanya karena Azizi yang datang menodong.
"Iya, Cang. Bentar ya" tanpa niat memutus sambungan, Amel izin untuk membagi waktu pada anak di hadapannya.
Sekuat tenaga ia menahan tawa. Menatap wajah serius Azizi sambil memiringkan wajahnya. Ia tarik senyum simpul.
Amel raih boneka yang Azizi sodorkan. Di amati lekat-lekat, ternyata bentuk hati, di tengahnya ada satu huruf "A".
"A untuk Azizi?"
Zee menggeleng kuat.
"Hati. Dari Azizi, buat Amel"
Ia tekan pada awal namanya dan Amel.Sialannya Amel yang tak bisa lebih lama menahan tawanya. Ia pecah saat itu juga. Tidak tanggung-tanggung, sampai meledak, menepuk-nepuk perutnya yang terasa sakit, membuat orang-orang yang tadinya acuh tak acuh memusatkan perhatian padanya, hanya dia.
"Kak Amel kenapa itu?"
"Dah biarin aja. Dia udah biasa kesurupan kok"
Nah, silahkan menebak-nebak siapa yang berbicara barusan.
"Mel? Kamu kenapa sih? Sehat 'kan ya?"
Tidak Erika, bukan saat yang tepat untuk bertanya. Diam saja dulu dan dengarkan kalau kedengaran.
"Kak Amel kok ketawa?" Wajah itu polos sekali. Amel yakin Zee pasti tak benar-benar sadar pada apa yang sedang ia lakukan saat ini.
Baiklah, ia berhenti. Mencoba mengatur diri untuk tidak meledak lagi.
"Haduh haduh.. kocak" ia masih menepuk tangan beberapa kali. Lihat, bahkan matanya sampai berair.
Kali ini Amel pusatkan perhatiannya pada Zee seorang. Ia sentuh bahu anak itu, menepuk-nepuk kecil.
"Zee. Kamu tuh sadar gak sih lagi ngapain?"
"Ha?"
Benar, rupanya dia tak mengerti. Bukan, bukan pada tindakannya saat ini. Namun lebih kepada apa yang Amel sampaikan barusan.
Bukannya memperjelas, Amel malah melihat-lihat ke kanan dan ke kiri. Bak maling takut tertangkap basah. Membuat bingung saja.
"Gini ya" ia bahkan sengaja menggantung kalimatnya. Menurunkan nada bicara, nyaris berbisik seperti ibu-ibu yang akan memulai sebuah gunjingan.
Zee bahkan sampai sedikit menunduk, mendekatkan telinganya takut akan ada kalimat yang terlewat."Kalo Lala tau. Dia pasti sedih loh"
Benar, Amel malah mengajak Zee untuk berbisik-bisik.Namun Zee yang polos sama sekali tak mengerti, ia masih bicara dengan nada normal.
"Kok sedih?" Tanyanya.
Dihadiahi sebuah telunjuk yang di tempelkan pada bibirnya.
"Sstt!" Amel berdesis. "Jangan keras-keras. Kamu tuh harus tau gimana jaga perasaan orang ya. Apalagi ke yang lebih tua"