🌼 Bagian 3. Apa yang Aku Cari?

41 6 1
                                    

Enjoy and happy reading!
Semoga suka 😊

***

"Bersyukur itu mudah, kok. Sekali-kali coba menunduk ke bawah, jangan melulu mendongak ke atas. Karena roda itu pasti berputar kan?"

- LABIL? -

🌼🌼🌼


"KAK NAD! AYO CEPET! KEBURU BISNYA PERGI NANTI," teriakku pada Kak Nada yang masih sibuk di dalam kamar mandi.

"Bentar elah. Bawel amat, sih!" sahutnya dari dalam.

"Buruan Kak! Nanti ketinggalan bis lagi. Emang mau nganterin sampe sekolah?" tanyaku menahan kesal.

"Ogah!" balasnya bersamaan saat ia membuka pintu.

"Yaudah, ayo."

Setiap hari rutinitasku ya seperti ini. Saat berangkat, aku memang diantar tapi tidak sampai sekolah. Karena letak rumah dan sekolahku yang berjarak sangat jauh, akhirnya aku memutuskan untuk naik kendaraan umum saja dan cukup diantar sampai ke tempatku biasa menunggu bus.

Kadang, kalau ada kendaraan yang menganggur di rumah, biasanya aku juga memakainya.

Sepanjang jalan yang kami lewati, sesekali aku menyapa tetangga yang kebetulan berpapasan dengan kami. Itupun hanya tetangga yang rumahnya benar-benar mengelilingi tempatku. Selebihnya, aku pura-pura saja tidak tahu.

Lah, memang beginilah aku dengan sosialisasi burukku.

"Kak, nanti nggak usah jemput. Aku sama Melodi aja, katanya mau belajar bareng di rumah," ucapku pada Kak Nada.

"Hm. Jangan lupa bawa cemilan."

"Iya. Eh, kayaknya busnya udah dateng, deh. Aku berangkat dulu. Assalamualaikum," ucapku melakukan salaman ala jaman sekarang dengan kakakku.

"Walaikumsallam," jawabnya.

Aku segera masuk ke dalam bus yang sudah menungguku. Ternyata, di sana sudah ada Mika yang tumben sekali tidak naik motor.

"Tumben, Mik," ucapku setelah duduk di sebelahnya.

"Iya, motor aku mogok. Baru aja tadi aku taruh di bengkel," jawabnya.

"Oh." Aku menaruh tas punggung di pangkuanku, "kenapa nggak bawa yang baru? Lagian motor Lo udah antik gitu. Emang nggak malu kalo diomongin sama orang?"

"Buat apa malu? Yang punya aku yang pake juga aku. Kadang kalo orang udah ngomongin kita, itu artinya dia iri sama kita. Mereka nggak bisa lakuin apa-apa, jadinya ya cuma bisa ngomongin orang aja.

"Ra, kalo kita terlalu peduli sama omongan orang, udah pasti dong kita bakal berusaha nunjukin yang terbaik di depan mereka. Otomatis pikiran kita bakal terkunci, gak akan bisa maju!" jelas Mika membuatku salut.

"Iya, Mik. Manusia kan emang gitu. Haus akan pujian. Saking fokusnya sama dunia, sampai-sampai mereka lupa ngejar ridho-Nya," balasku yang sebenarnya pantas untuk kutunjukkan pada diriku sendiri.

Aku malu, Ya Rabb. Selama ini aku sering saja mengeluh karena keadaan. Selalu bertanya-tanya, kenapa hidupku semenyedihkan ini.

Kenapa hidupku tak seberuntung Mika yang selalu terpenuhi kebutuhannya? Padahal, karena hal tersebut, Mika menjadi kekurangan kasih sayang oleh kedua orang tuanya yang sibuk bekerja.

Kenapa hidupku tak bisa sebebas Sasi? Padahal, karena kebebasannya, Sasi malah pacaran dan membuatnya terperosok ke dalam dosa. Orangtuanya membiarkan Sasi melakukan semaunya. Ia semakin sulit menerima nasihat dari orang-orang di sekitarnya.

LABIL?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang