PP;KP - 01

26 1 1
                                    

Hembusan angin tiap detik menyapu bersih halaman bangunan megah ini, yang berisi hanyalah dia seorang diri membiarkan angin menerpa wajahnya sesuka hati. Goresan yang ada di pergelangan tangan kanannya mengisyaratkan bahwa dialah pelaku nya.

Rumah ini sudah lama tak berpenghuni semenjak kedua orang tuanya pergi meninggal kan dirinya seorang diri di dunia ini.

Lelaki dengan sweater hitam nya meninggalkan rumah bertingkat dua ini dengan mobil yang dipinjamkan oleh sepupunya.

Marcus Joseph Dirgantara membelah jalanan pukul 3 dini hari, melaju kencang kembali ke rumah yang baru saja ia tempati 3 bulan terakhir ini.

"Dari sana lagi?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Rafan.

Yang ditanya hanya menganggukkan kepalanya sambil melempar kunci mobil di atas meja, menghempaskan tubuhnya menikmati ranjang empuk kamar ini.

"Kenapa lo gak balik tinggal sana aja sih"

Rafan Dinata hanya mendapat jawaban dengkuran dari Marcus, Rafan sadar adik sepupunya yang tengah berbaring satu tempat tidur dengannya sengaja melakukan hal itu, mengelak, tidak ingin menjawab pertanyaannya.

✝✝✝

Matahari cepat sekali terbit batin Naira yang enggan bangkit dari selimut tebal melekat di tubuhnya. Kalau bukan karena mata kuliah pagi, gadis berambut panjang ini akan tetap melanjutkan aktivitas bermalas-malasan nya di tempat tidur Queen size-nya.

Setelah menjalani rutinitas paginya, Naira turun ke bawah menuju meja makan, dari kejauhan saja ia sudah mendapati Abang nya itu memakan roti panggang lebih tepatnya membaca dokumen setebal 2 rim tersebut.

"Pagi-pagi buta udah sarapan kertas 2 rim, miris banget.." Sindir Naira menyapa Abang satu-satunya yang ia miliki.

"Oh, hai adikku tersayang, tumben banget gak kebo?" Hanya tatapan tajam yang Garin dapatkan.

"Oh iya, jadi gimana gimana.." cerca Garin menarik kursi, menepuk, mempersilahkan adiknya duduk.

Naira yang mengerutkan keningnya tak mengerti, mungkin efek samping sarapan kasus-kasus sudah membuat abangnya gila.

"Gimana..!" Tanyanya lagi dengan sedikit meninggikan suara.

"Apaan sih bang. Sarapan aja gak tenang" jawabnya mulai jengah perlakuan abangnya.

Pagi ini diisi oleh dua saudara itu dengan beradu jontos, tidak memperdulikan Reyni sang Ibunda seperti tak berwujud di kedua mata anak kesayangannya.

"Stop!"

Garin dan Naira lantas menoleh ke sumber suara, mendapati mamanya melotot ke arah keduanya, sedangkan sang tersangka keributan hanya menyengir saja.

"Hehe, Ma aku berangkat ya.." ucap Naira berlalu pergi setelah menyalami tangan mamanya.

Sedangkan Garin yang tidak ingin mendapatkan ceramah secara terbuka di pagi hari mengikuti hal sama seperti adiknya, "Aku juga Ma!"

Setelah melihat punggung kedua anaknya berlari keluar rumah, Reyni hanya bisa menggelengkan kepalanya saja melihat kelakuan anak-anak nya yang masih saja seperti anak kecil berusia 7 tahun.

✝✝✝

Dengan mata yang masih tertutup rapat Marcus tiba di sekolahnya dengan diantar oleh Rafan, siapalagi. Demi menjaga keselamatan Marcus, Rafan merelakan meeting dengan klien besar perusahaan nya. Untung saja, dia pemilik perusahaan tersebut jika tidak sudah di pecat secara langsung.

Rafan mengguncang tubuh Marcus, "Woi, sadar, minum juga gak tapi kek orang mabok"

Marcus merentangkan kedua tangannya ke depan berlalu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata, di dalam kelas pun Marcus seperti biasa fokus memandangi papan tulis sedangkan sahabat yang sebangku dengannya terus saja mencorat-coret halaman terakhir buku.

Bell pun berbunyi membuat guru sejarah tersebut pergi meninggalkan kelas, "Pagi-pagi udah sarapan sejarah, ngantuk gue" keluh sahabatnya si Gaga sambil berjalan menuju kantin.

"Makanya diperhatiin biar gak bego" jawab Marcus menoyor kepala Gaga.

Mereka duduk di salah satu tempat yang memang orang-orang tau ini tempat duduk mereka. Marcus, Gaga dan juga Martin anak populer dan banyak digilai kaum hawa sekolahnya ini. Namun saat ini hanya ada mereka berdua, Martin selalu saja absen di hari jumat. Padahal hari terakhir sekolah selama seminggu.

Gaga melihat kearah pria bertubuh besar tinggi yang ada di luar kantin.

"Ngapain sih pake bodyguard segala.." protes Gaga.

Marcus menoleh ke belakang nya, melihat dua lelaki berpakaian serba hitam di luar kantin ini.

"Banyakan bacot ya gini, gue ganti temen aja kali ya.." jawab Marcus menyantap mie instan yang dipesannya.

Dilain sisi, Naira Putri Maharani tengah disibukkan dengan tugas menumpuk dari dosennya. Bukannya datang mengajar, dosennya hanya datang memberikan tugas setelah itu tak kembali sampai saat ini.

"Ra, Naira, besok aja ya ngumpulin tugasnya" pinta teman sekelasnya.

Naira menoleh, "Ide bagus! Tapi gak berlaku buat matkul ini.."

Setelah selesai, Naira menuju tempat dimana ia akan menongkrong sebelum pulang. Hari ini hari melelahkan, cuma satu matkul dan di hari Jumat pula.

Naira mengambil benda pipih yang sedari tadi ia heningkan karena menghindari Garin, abangnya.

Ada sekitar puluhan pesan yang di spam oleh abangnya dengan isi pesan yang sama pula, membuat Naira jengkel memblokir nomer WhatsApp Abang nya.

"Bantu bantu pala lu" gerutunya kesal membaca pesan tersebut.

Baru saja dirinya tenang, Naira dibuat kaget lagi karena si Garin tak gentar meminta pertolongan nya dengan menelpon nya seperti ini.

"Apa!"

"...."

"Gak!"

"..."

"Gue bilang gak ya gak!"

Kesal Naira memutuskan panggilan dari Garin, benar-benar frustasi karena memiliki Abang seperti Garin.

Garin terus saja memohon meneror dirinya meminta bantuan, bukannya menolak, sebenarnya Naira tidak ingin terlibat, itu saja. Lagian dirinya juga harus kuliah, karena di semester 4 harus ia lalui dengan tenang dan tanpa gangguan.

Bersambung

PERSONA PSYCHO [KEPRIBADIAN PSIKOPAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang