Jeongin terbangun saat matahari mulai merayap menuju peristirahatannya. Sebelumnya, dia tak pernah ingat dia tertidur di atas ranjangnya. Ingatannya berhenti pada beberapa saat sebelum pingsan. Seingatnya, ia hanya duduk dan meminum susu sebelum akhirnya Hyunjin datang dan semuanya berubah gelap.
Ia hendak bangkit, namun tangan besar yang melingkar di perutnya menghalangi. Jeongin tidak terlalu ambil pusing, ia tetap memilih untuk duduk. Dan di saat yang sama, kompresan yang sedari tadi ada pada dahinya meluncur jatuh membasahi piyamanya.
Jeongin semakin heran saja. Dia tak pernah sekalipun memakai apa yang menjadi milik kakaknya tanpa seizin pemiliknya. Ia tahu betul bahwa dirinya tak pernah sekalipun memiliki piyama dengan satu warna, putih pula. Piyamanya selalu didominasi warna biru dengan gambar kartun favoritnya.
Errㅡ jangan tanya kenapa begitu. Jeongin sendiri tidak pernah ikut andil dalam mengurus pakaian apa yang dimilikinya. Ibunya yang perfeksionis itu telah menyediakan semua yang ia butuhkan, tanpa terkecuali.
Pemuda itu menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 4.30 sore. Ia merasa tergelitik saat kepala yang dipenuhi surai kecokelatan itu bergerak. Sepertinya tak lama lagi pemiliknya akan segera terbangun.
"Jeongin, kamu udah bangun!" Hyunjin jelas tidak bisa menyembunyikan nada gembira saat melihat adik kembarnya tersadar dari tidurnya sejak semalam. Disentuhnya dahi berkeringat itu menggunakan punggung tangannya. Masih lumayan hangat, tapi lebih baik dari sebelumnya.
Ia menggenggam erat tangan kanan sang kakak. 'Aku tadi pingsan? Kenapa?'
"Kamu demam, Jeongin. Bandel, sih! Kan Kakak udah bilang buat nggak hujan-hujanan lagi," ujar Hyunjin pura-pura marah.
'Maaf.' Ia menggerakkan jarinya. Tangannya bergerak untuk menangkup wajah sang kakak. 'Makasih, udah mau repot-repot jagain Jeongin!'
Hyunjin menggeleng, "Kamu ngomong apa sih? Udah jadi tugasku buat ngerawat kamu yang lagi sakit." Ia mengusap kepala Jeongin dengan lembut.
Kemudian beranjak dari tempatnya, "Makan dulu, ya? Mama tadi udah bikinin bubur buat kamu. Habis itu minum obat, deh."
Jeongin mengangguk lemah, tidak kuasa untuk menolak.
.
Isi dalam mangkok telah habis. Semuanya pindah ke perut kurus Jeongin. Beruntungnya pemuda itu tidak banyak protes saat Hyunjin menyuapkan sesendok makanan encer dan hambar itu ke dalam mulutnya.
Namun, Hyunjin lupa satu hal. Adiknya itu tidak pernah menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan obat. Alasannya cukup sederhana, sebenarnya. Pahit, dan Jeongin tidak suka hal itu.
Contohnya saja seperti saat ini. Hyunjin sendiri hampir frustasi membujuk sang adik untuk meminum obatnya.
"Ayo dong, kalo nggak mau minum obat nanti nggak sembuh-sembuh loh. Kamu mau sakit terus?" Bujuknya, berharap usahanya akan berhasil. Namun, Jeongin tetap bersikeras menolaknya. Menutup rapat mulutnya dengan kedua tangan.
Hyunjin menghela napas, memijit pelipisnya merasa frustasi. "Lama-lama gue ikut sakit juga gara-gara Jeongin," gumamnya.
Jeongin menelengkan kepalanya, penasaran dengan apa yang kakaknya gumamkan. Ia menepuk-nepuk pundak sang kakak. Saat berhasil mendapatkan atensinya, Jeongin pun menggerakkan jemarinya. 'Kakak ngomong apa?'
Tiba-tiba terbesit ide dalam kepala yang lebih tua. "Yakin pengen tau?" Jeongin membalasnya dengan anggukan di kepala.
"Kakak punya syarat," katanya semakin membuat Jeongin dihantui rasa penasaran. "Sekarang, pejamin dulu matamu."
Jeongin memejamkan matanya.
"Buka mulutmu." Hyunjin terkikik saat adiknya itu dengan tampangnya yang lugu menuruti apa katanya.
"Coba bayangin, sekarang kamu lagi ada di negeri cokelat. Di depanmu ada almond cokelat yang rasanya maniss banget!"
Tak membuang waktu lama, ia segera memasukkan tablet obat penurun panas itu ke dalam mulut sang adik. "Di depanmu juga ada sungai cokelat. Sekarang, kamu coba minum susu cokelat dari sungai itu."
Bersama dengan berakhirnya ucapannya, Hyunjin meminumkan segelas air secara perlahan agar sang adik bisa dengan mudah menelan obat tersebut. Hyunjin tidak ingin tergesa-tergesa hingga membuat sang adik tersedak.
Jeongin membuka matanya yang sedari tadi terpejam dan menunjukkan ekspresi mual. Sepertinya rasa obat yang pahit itu samar-samar mengenai indera perasanya. Hwang muda itu mengernyit, sepertinya hendak melayangkan protesnya.
"Jeongin, kamu gapapa?" Tanya Hyunjin saat Jeongin justru terdiam tanpa banyak bicara.
Jeongin memberi tanda bahwa ia baik-baik saja dengan menunjukkan jari telunjuk dan ibu jari yang menyatu sementara tiga jari yang lain mencuat keluar.
'Ok.'
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Twins ㅡ hyunjeong✔
Fiksi Penggemarcuma sepenggal cerita, kakak beradik yang saling menyayangi satu sama lain. meskipun perbedaan diantara keduanya terlihat begitu mencolok. hwang hyunjin & yang jeongin ©seungminavy, 2019