10. We Trust You, dr. Jeon (Part 2)

5.9K 463 323
                                    

Selamat malaaaaaaam~ 👋🏻

Mohon maap karna semalem kepencet, jadi ku unpublish dulu heheh maklum, udah ngantuk, badanku juga lagi drop, jadi nggak fokus 😅🙏🏻

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mohon maap karna semalem kepencet, jadi ku unpublish dulu heheh maklum, udah ngantuk, badanku juga lagi drop, jadi nggak fokus 😅🙏🏻

Sama seperti chapter lalu, semua informasi yang tertulis di chapter ini masih bersumber dari beberapa jurnal penelitian dan nanya ke dokter. Jadi apa yang kutulis ada dasarnya, nggak asal ngarang, upload. Tapi, bahasa sama alurnya udah kubuat semudah mungkin, kok. Mudah-mudahan kalian nggak bingung, ya 😁

Kalo ada informasi yang menurut kalian keliru atau salah juga boleh kok dikasih tau. Aku malah seneng kalo ada yang bantu koreksi atau kasih kritik saran. Aku juga sama, masih belajar hehe

Yaudah, selamat membaca, ya. Semoga terhibur dan ilmunya bermanfaat~

⚠️⚠️⚠️WARNING⚠️⚠️⚠️

Peringatan bagi kalian yang hemophobia (fobia terhadap darah) atau tomophobia (fobia terhadap prosedur/tindakan operasi).

Chapter ini akan memuat beberapa gambar berupa tindakan bedah yang disertai darah dan otak. Bagi yang merasa tidak kuat, mual, lemas, atau takut, dimohon untuk di skip saja agar tidak mengganggu kenyamanan kalian selama membaca.

Gambar tersebut berfungsi sebagai pendukung adegan dalam alur cerita. Gambar sepenuhnya hanyalah ilustrasi semata.

*****

Malam hampir memasuki sepertiga masanya. Di mana kegelapan semakin pekat, pun suhu udara merendah kian giat. Alih-alih meringkuk dibalik selimut dan bergumul dengan alam mimpi, seorang lelaki dengan kondisi lahir batin didominasi kecemasan atas problematika kehidupan dunia justru terjaga sejak dua jam lalu. Baginya, hanya waktu inilah yang terbaik untuk menyerukan rasa perih akibat luka menganga yang selalu ditutup rapat tatkala surya menjelang.

Suasana ruangan tersebut temaram. Hanya lampu tidur di meja yang dibiarkan menyala selagi lelaki itu bertumpu lutut menghadap salib berukuran satu kali setengah meter di ujung ruangan dengan tangan bertaut erat; membentuk kepalan, di depan dada. Kepalanya menunduk dalam dengan bibir gencar melafazkan doa, mengemis pada yang kuasa dengan wajah berderai air mata. Tak diacuhkannya lagi hawa dingin yang menyapa jaringan epidermis kulit putihnya, dibiarkan meradang hingga daging terdalam. Bahkan, kesunyian malam nyatanya gagal membuat bulu kuduknya meremang.

"Eungh ...."

Bibir lelaki itu berhenti bergerak. Dua kelopak matanya yang basah terbuka cepat selagi menajamkan pendengaran. Rintihan lemah yang kembali tertangkap telinga menggerakkan tangannya menyeka sisa lelehan air mata; mengakhiri ritual rohaninya. Bergegas lelaki itu bangkit, membawa langkah cepatnya menghampiri sumber suara.

I Will Protect You (Kookmin) | BOOK IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang