📍Paris, Pranciss.
Beverly Place.
Malam penuh ketegangan, dimana keluarga yang masih pusing memikirkan tawaran dari keluarga nan kaya itu. Salah satunya harus mengambil keputusan dan tidak boleh lagi mencabut keputusan itu. Sangat rumit, namun harus dipikirkan dengan matang, sematang telur mata sapi.
"Jika salah satu putrimu menikah dengan putraku yang lumpuh itu, maka aku jamin perusahaanmu akan aku bantu berdiri dengan terhormat." tawar pria tua itu, yang umurnya sudah memasuki kepala lima.
"Tuan Johnson Holland, aku belum bisa mengambil keputusan saat ini, beri aku waktu." ujar pria tua yang diberi untuk mengambil keputusan, dan malah meminta waktu.
"Baiklah kalau begitu, aku akan memberikan waktu untukmu, tuan Dawin Beverly. Besok aku akan kemari lagi, dan menagih keputusanmu itu." Johnson meninggalkan kediaman Beverly, dan Dawin yang masih memikirkan keputusannya.
Menurutnya semua pilihan begitu berat. Apa ia harus mengorbankan satu putrinya?
Iyap, hanya itu jalan satu satunya, tidak ada jalan yang lain.Dawin hendak berjalan memuju kamarnya dan membicarakan ini pada istrinya, lalu memberitahukan pada kedua putrinya. Namun, Dawin terdiam ditempat karena dibelakangnya ada kedua putrinya, Ashley dan Annita.
"Ash, Ann.." gumam Dawin masih dengan keadaan mematung dan tidak bisa berkata apapun.
"Ayah, apa tadi itu benar?" tanya Ashley Beverly, putri pertama Dawin Beverly. Ia memandang dengan sarkasmenya, mendelik dan meminta penjelasan.
"Tolong jelaskan ayah!" kini Annita yang mengeluarkan suara.
Dawin resah, ia kembali duduk diatas sofa empuk nan mahal itu. Ia memegangi kepalanya dan menggaruk bagian yang tak gatal sebagai tanda ia frustasi. Rambut yang dipenuhi uban itu diacak - acak oleh empunya, ia sangat frustasi.
Ashley dan Annita mendekat kearah Dawin. Mereka seolah gencar ingin mendapatkan penjelasan dari sang ayah. Ashley duduk tepat di samping Dawin, sedangkan Annita duduk disofa terpisah namun masih berdekatan dengan Dawin.
"Ayah kumohon jelaskan, ada apa sebenarnya? Kenapa tuan Holland sampai datang kemari ayah?" tak hentinya Ashley meminta penjelasan kepada Dawin, ia sangat penasaran.
"Perusahaan ayah diblock, ayah harus menikahkan diantara kalian berdua kepada putra sulung tuan Holland, karena hanya dia yang bisa membantu perusahaan ayah."
kedua pasang mata itu seketika membulat, terkejut mendengar perkataan yang baru saja disampaikan oleh Dawin.
"Ayah bingung harus bagaimana?" ujar Dawin yang begitu frustasi, membuat Ashley iba. Ia langsung mengusap punggung, memeluk, dan menenangkannya.
"Kenapa tidak kau tolak saja, Suamiku." istri Dawin membawa segelas kopi susu, wanita tua itu masih tampak cantik dan menawan dimata Dawin.
"Dyna, jika aku menolak bagaimana dengan kalian? Mau makan apa? Annita masih berkuliah, dan pelayan dirumah ini juga siapa yang akan membayarnya? Itu berat, sangat berat."
"Itu berarti ayah memang tidak menyayangi putri-putri ayah. Ayah hanya memilih pekerjaan, bukan putri ayah sendiri." gerutu Annita tak menyukai apa yang barusan disampaikan ayahnya.
"Ann.. Ayah bukannya tidak menyayangi kalian, ayah bingung harus memilih yang mana, satu keputusan itu sangat besar efeknya pada ayah, kau tahu itu?"
Dawin menatap Annita dengan wajah yang susah diartikan, frustasi yang membuatnya menjadi pusing dan harus mengambil keputusan dengan cepat.
Benar, satu keputusan yang akan ia ambil, itu akan berefek pada dirinya dan keluarganya.
"Ann, kau maukan menikah dengan putra sulung keluarga Holland?" ujar Dawin dengan penuh harap, dan Annita terkejut dan langsung menggelengkan kepalanya.
"Tidak ayah aku masih ingin berkuliah, dan aku tidak ingin menikah dengan pria lumpuh. Yang tua saja lebih dulu menikah!"
Yang diucapkan Annita memang benar, putri bungsunya itu memang masih berkuliah. Dan harapan satu-satunya adalah putri sulungnya, Ashley.
"Hanya kau harapan ayah sayang, bantu ayah ya?"
Orang tua itu memandang anak pertamanya dengan mata berkaca-kaca dan masih menimang-nimang tawaran itu."Ayah mohon! Apapun yang akan terjadi nanti ayah akan menanggungnya, tapi untuk saat ini ayah mohon, bantu ayah sayang!" air mata Dawin menetes, Ashley pun ikut menangis.
"Baiklah ayah, aku akan menikah dengannya, walaupun ia duduk dikursi Roda!"
Keputusan mutlak yang Ashley baru sampaikan membuat Dawin menatap putri sulungnya itu dengan bangga. Putrinya satu ini memang selalu nekat dan tak mau fikir panjang.
"Apa kau yakin sayang?" tanya Dyna meyakinkan putri sulungnya itu, karena ia tahu bahwa putrinya itu sangat jarang bersosialisasi dengan laki-laki manapun, karena Ashley gila dengan kerja.
"Aku yakin, seyakinnya diriku pada ayah." senyum Dawin terbit membuat Ashley menangis dan langsung memeluk sang ayah. Ia tahu ini memang menyakitkan, menikah dengan pria yang tidak ia cintai, tidak ia kenal, bahkan belum ia lihat wajahnya, ia hanya tau bahwa pria itu lumpuh lewat berita ditelevisi.
"Ayah akan menanggung semuanya, jangan khawatir ya sayang." Ashley mengangguk mengiyakan dan berusaha tetap kuat agar ia tidak dikira memaksakan diri. Ia tidak tega melihat ayahnya yang sudah bersusah payah bekerja tiap hari hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka.
"Baiklah, kalau begitu sekarang sudah larut sekali, kembali kekamar masing-masing okey." Dawin melepaskan pelukkan itu dan mengusap pucuk kepala Ashley.
"Kembalilah kekamar, hmm." Ashley mengangguk, ibunya mengecup keningnya dan mengusap lengan telanjangnya.
Ashley berjalan kearah kamarnya yang ada di lantai dua. Rumah mewah, fasilitas mahal, pelayan yang banyak, bodyguard disana dan disini, itu membuat Ashley bingung, ia memiliki semuanya namun masalah ini datang membuatnya setengah mati berfikir.
Semua memang lengkap, namun jarang ada kasih sayang didalamnya. Bibir pink natural itu tersenyum pahit, ia tidak suka situasi saat ini. Ia lebih suka saat ia susah dulu, namun ada kasih sayang didalamnya. Ia tidak suka menjadi kaya seperti ini. Jika boleh dikatakan, ia lebih suka menjadi miskin, namun penuh cinta dan kasih sayang.
Perlahan memasuki kamar tidurnya, hanya lampu tidur yang menyala. Jendela yang terbuka, dan menunjukkan gelapnya malam dan bulan yang begitu terang. Ia melipat kedua tangannya disana, berdiri memikirkan nasibnya dimasa depan.
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral, bukan permainan, ia hanya ingin menikah satu kali. Tetapi jika perusahaan ayahnya sudah membaik, apakah ia akan diceraikan?
Memikirkan itu ia menangis, memandang bulan yang terang. Ia tidak boleh egois, ia harus ikhlas. Demi ayah, ibu, dan adiknya. Apapun yang akan terjadi, ia akan hadapi. Tidak salah untuk mencoba bukan? Tak kenal, maka tak sayang.
To be continued..
Jangan lupa Pencet BINTANG yang ada di kiri bawah ya & KOMENTAR yang banyak supaya aku semangat😁😘🙏🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband In The Wheelchair.
Romance#ZacEfron&LilyCollinsSeries "Tidak ayah aku masih ingin sekolah, dan aku tidak ingin menikah dengan pria lumpuh. Dia saja yang lebih dulu menikah." "Hanya kau harapan ayah sayang, bantu ayah?" pria tua itu memandang anak pertamanya dengan mata berka...